Sabtu, 18 Agustus 2007

Profil Anggota DPRD Palopo

Judul: Demi Rakyat Palopo
(Profil Anggota DPRD Kota Palopo Periode 2004-2009)Penulis: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Halaman: 94 Full Colour
Terbit: Desember 2006
ISBN: 979-98972-9-7

Sinopsis:

Buku “Demi Rakyat Palopo”, Profil Anggota DPRD Kota Palopo Periode 2004-2009, terbit dengan dalam bentuk yang sangat ekslusif (full colour) selain berisikan profil singkat Para Anggota DPRD Kota Palopo juga mengurai secara singkat Profil Kota Palopo yang dalam lima tahun terakhir di nakhodai Drs. H.P.A. Tanriadjeng, M.Si. dam Drs. H. Saruman.

Sesuai cita-cita ideal diterbitkannya buku ini untuk memperkenalkan secara terbuka tentang latar belakang pribadi, gagasan, harapan dan komitmen para wakil rakyat Kota Palopo kepada para mitra kerja dan konstituennya, sehingga dengan sendirinya buku ini akan memiliki fungsi strategis sebagai instrumen pendukung dalam menciptakan pola komunikasi timbal balik secara sinergis antara legislatif dan eksekutif, dan antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya, sehingga secara bersama-sama mengambil peran dalam menunjang kemajuan pembangunan Kota Palopo ke arah yang lebih baik.

Tentu saja metode pendekatan semacam ini, semakin penting artinya di era keterbukaan sekarang ini, karena dalam perkembangan Kota Palopo yang semakin sarat dengan ploblematika kemasyarakatan yang multikompleks, tentu saja tidak akan mungkin dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama seluruh komponen untuk mengambil peran strategis sesuai kedudukan dan potensinya masing-masing dalam rangka mempercepat gerak roda pembangunan Kota Palopo dalam mencapai ambisinya sesuai visinya untuk menjadi Kota Pelayanan Jasa Terbaik di Kawasan Indonesia Timur, dengan julukan "Kota IDAMAN” (Indah, Damai, Aman dan Nyaman).

Itulah sebabnya sehingga buku ini memiliki nilai tensendiri, tidak saja kepada para anggota dan kelembagaan DPRD Kota Palopo, tetapi juga kepada Pemerintah Kota Palopo dalam memuati kebijakan pembangunannya sesuai dengan 7 (tujuh) dimensi strategi pendekatan yang telah dicananghkan. Dan secara meluas, tentu saja buku ini akan memberi manfaat pula bagi masyarakat Kota palopo pada umumnya, untuk menunjang pengembangan wawasan untuk berperan aktif dalam dalam menunjang pembangunan daerahnya..

Buku Perempuan untuk Perempuan

Judul: Perempuan untuk Perempuan
(Sketsa Pemikiran Perempuan untuk Pemberdayaan Potensi Perempuan di Sulawesi Selatan)
Penulis: Farida Nurland, Sumarwati Kramadibrata, Dwi Tina MK, dkk.
Prolog: Hj. Apiaty Kamaluddin
Epilog: Zohra Andi Baso, dkk
Penyunting: Nurfitri Balsaong & Hasmawati Hamid
Penerbit: toACCAe Publishing
Terbit: April 2006
Tebal: 176 + xxxii
ISBN: 979-98972-4-6

Sinopsis:

Membaca torehan lintasan sejarah Sulawesi Selatan --- baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka --- mengungakpkan bahwa tidak sedikit diantaranya dibijaksanai oleh kepemimpinan perempuan sesuai zamannya, yang terbukti sering unggul dalam menciptakan ruang berkehidupan yang berkeadilan, harmonis dan sejahtera bagi masyarakatnya. Sebagaimana terungkapkan bahwa sekian kerajaan di Sulawesi Selatan, singgasananya pernah diduduki oleh seorang raja berjenis kelamin perempuan. Sebutlah misalnya telah dibuktikan We Tenri Rawe (PajungE dan Datu Luwu ke-14), Sitti Aisyah We Tenri Olle (Ratu Kerajaan Tanete Barru ke-10), Andi Ninnong (Ranreng Tua Kerajaan Wajo tahun 1920), Andi Depu (Ratu kerajaan Balanipa Mandar), dan lainnya.

Kebijaksanaan seperti itu, tidak lebih karena secara substansial perempuan pada dasarnya memiliki potensi dan kompetensi yang sesungguhnya berdaya saing tinggi, kemudian menjadi terabaikan dalam beberapa dekade terakhir. Selain karena faktor sosio kultural Sulawesi Selatan pada khususnya, yang sedikit banyaknya menutup ruang kondusif bagi teraktualisasikannya potensi dan kompetensi perempuan secara maksimal. Tetapi pada sisi lain, perempuan secara tidak sadar, ikut pula terseret untuk terjebak dengan dogma-dogma kultrural seperti itu, sehingga cenderung mengabaikan kompetensinya.

Pada saatnya perjuangan kaum feminis kemudian bergerak untuk menyibak tabir kelam itu. Belakangan kemudian disadari bahwa salah satu bagian terpenting yang dipandang mendesak untuk mendapatkan prioritas dari sekian dimensi pembangunan, adalah potensi perempuan. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, kemudian ikut memberi respon positif, sebagaimana termaktub dalam sejumlah rumusan arah dan kebijakan pembangunan Sulawesi Selatan, bahwa persoalan perempuan menjadi urgen untuk diberdayakan.

Kebijaksanaan pembangunan yang berorientasi seperti itu, secara substansial masih dipandang belum cukup menyentuh persoalan yang sesungguhnya, baru sebatas pada program pemberdayaan yang dapat diterjemahkan menempatkan perempuan pada tataran objek, belum pada taratan kebijakan untuk upaya penciptaan ruang kondusif, untuk menempatkan perempuan sebagai subjek, sehingga dapat lebih leluasa memainkan peran dan posisinya dalam mengatualkan potensi dan kompetensi yang dimilikinya secara kompetitif.

Persoalan lain yang kemudian jadi bias, karena soal program pemberdayaan perempuan dalam dimensi pembangunan daerah, sering-sering digagas --- atau malah justru dilaksanakan --- oleh kaum laki-laki, sehingga sering-sering menjadi bias gender. Padahal (kalau seandainya mau jujur), yang lebih paham soal bagaimana program, metode pendekatan dan pelaksanaannya, adalah kaum perempuan itu sendiri. Untuknya dalam prioritas program pembangunan daerah ke depan, sudah semestinya dibuka ruang pelibatan komponen perempuan didalamnya, karena perempuan memiliki urgensi spesifik dalam eksistensinya sebagai manusia, sehingga dapat tercipta tatanan equal yang seringkali dipandang hanya sebelah mata --- kalau tidak ingin dikatakan dinafikan --- dalam proses pembangunan yang tidak bias gender.

Bagaimana merumuskan peran perempuan dalam berbagai dimensi pembangunan Sulawesi Selatan ke depan, serta kerangka kerja yang lebih tepat, berdaya guna dan berhasil guna, sudah semestinya dirumuskan oleh kaum perempuan itu sendiri. Untuk itulah sehingga buku berbentuk bunga rampai pemikiran para tokoh, akademisi, pemikir dan penggiat soal perempuan di Sulawesi Selatan ini, patutu dijadikan bahan kajian bagi perempuan dalam memberdayakan dan memanfaatkan potensi dirinya bagi masyarakat, bangsa dan negara, khususnya dalam kelangsungan pembangunan Sulawesi Selatan.

Buku Prahara Trisakti & Semanggi

Judul: Prahara Trisakti & Semanggi
(Analisis Sosio-Yuridis Pelanggaran HAM Berat di Indonesia)
Penulis: Fadli A. Natsif
Kata Pengantar: DR. Aswanto, S.H,M.Si,DFM.
Editor: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Terbit: Mei 2006
Tebal: 154 + xxviii halaman
ISBN: 979-98972-7-0

Sinopsis:

Naskah buku ini pada mulanya adalah karya ilmiah berbentuk tesis untuk memenuhi prasyarat penulisnya dalam menyelesaikan studi Strata Dua (S-2) Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada tahun 2003, dengan judul asli ”Perlindungan HAM dalam Perspektif Hukum Nasional Indonesia (Suatu Analisis Sosio-Yuridis terhadap Kasus Trisakti dan Semanggi I/II)”, dibawah bimbingan Prof. Em. DR. Mr. H. Andi Zainal Abidin Farid dan DR. Aswanto, S.H., M.Si., DFM.

Judul tersebut kemudian mengalami penyesuaian pada saat proses penyuntingan, sebagaimana judulnya saat ini. Akan tetapi penguraian materi kajian buku ini tetap berada pada analisis akademis, meskipun sedikit disempurnakan dengan penggunaan gaya bahasa ilmiah populer. Tidak lain pertimbangannya, semata untuk memenuhi standar buku yang diperuntukan untuk umum, sekaligus menghindari pembaca dari kesan formal dan kaku, sehingga pembaca dapat mencerna penguraiannya secara lebih baik.

Tragedi Trisakti dan Semanggi I/II, merupakan peristiwa yang sangat sulit dihindarkan dari lembaran sejarah bangsa Indonesia, karena justru dari peristiwa inilah yang memicu pergolakan demonstrasi mahasiswa semakin meluas ke masyarakat umum untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden RI. Soeharto, sekaligus menjadi awal dimulainya era reformasi pembangunan diberbagai bidang.

Peristiwa benturan keras antara militer dengan gelombang demonstrasi mahasiswa di depan Kampus Universitas Trisakti dan di Semanggi depan Kampus Universitas Atmajaya Jakarta ini, menyembunyikan terlalu banyak fakta pelanggaran HAM di dalamnya, yang sampai saat ini masih tetap ditelusuri kebenaranya oleh Komnas HAM dan DPR-RI. Dan spektakulernya, karena karya tulis ini sejak beberapa tahun lalu, justru telah mengungkapkan sejumlah fakta dan rangkuman kronologisnya.

Sementara kategorisasi kasus pelanggaran HAM berat terhadapnya, yang sampai saat ini masih juga kontroversial, meskipun telah mendapatkan putusan hukum melalui peradilan militer. Tetapi berdasarkan pendekatan analisis sosio yuridis yang digunakan untuk membedahnya, buku yang naskah aslinya telah dipertanggungjawabkan secara akademis ini, dengan tegas menyimpulkan bahwa kasus ini termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, sehingga sudah semestinya diproses melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.

Demikian sehingga buku ini memiliki kelebihannya tersendiri dari sekian buku yang mengulas tentang Prahara Trisakti dan Semanggi, sehingga selain penting untuk dibaca oleh para akademisi, pengkaji dan pemerhati HAM, juga bagi para personil militer, aktivis mahasiswa dan masyarakat umum. Oleh karena buku ini tidak lagi melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah tragedi, tetapi suatu “Prahara”, karena ia adalah kasus pelanggaran HAM Berat.

Buku Kerajaan Luwu

Judul: Kerajaan Luwu
(Catatan Gubernur Celebes 1888)
Penulis:
D.F. Van Bran Morris
Penerjemah: HAM. Mappasanda
Editor: Armin Mustamin Toputiri
Terbit: Pebruari 2007 (cetakan kedua)
Tebal: 96 + xx halaman

Sinopsis:

Mungkin jadi inilah satu-satunya buku yang secara utuh menggambarkan tentang keadaan negeri, penduduku, pemerintahan, dan sejarah Kerajaan Luwu sekitar Abad ke 18 dan 19, karena idealnya isi buku ini hanyalah berupa laporan tertulis yang diajukan oleh Gubernur Celebes D.F. van Braam Morris kepada pimpinannya di pusat pemerintahan di Nederland, sehingga sejumlah persoalan di Celebes, yaitu wilayah pemerintahan dibawah kepemimpinannya, dilaporkan secara lengkap dan utuh.

Judul asli buku ini berbahasa Belanda: "Het Lansdchap Loehoe, Getrokker uit een rapport van den Gonverneur van Celebes deen her", diterjenagkan ke dalam Bagasa Indonesia oleh HAM Mappasanda. Ditulis oleh D.F. van Braam Morris sekitar 120 tahun yang lalu, tepatnya di Makassar, 14 Juli 1888, pada saat menjabat sebagai Gubernur Celebes pada Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

Buku Lumbung Golkar

Judul: Lumbung Golkar (Partai Golkar di Tengah Dinamika Politik Masyarakat Sulsel)Penulis: Mansyur Ramli, Azhar Arsyad, Darmawan M. Rahman, dkk.
Prolog: Marwah Daud Ibrahim
Epilog: Taslim Arifin
Penyunting: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Terbit: Desember 2004
Tebal: 162 + xliv halaman

Sinopsis:

Dua kali Pemilu Multi Partai era reformasi, Partai Golkar tampil menterjemahkan Paradigma Baru-nya sebagai "Golkar Baru" dan mengaktualkan identitasnya sebagai Kebangsaan dengan paham nasionalis melalui jargon "Bersatu untuk Maju". Meski jadi musuh bersama (common enemy), tetapi tetap saja membuktikan kedigjayaannya menjadi peraih suara terbanyak --- peringkat kedua pada Pemilu 1999 dan peringkat kedua Pemilu 2004 --- kembali mengukir kejayaan sebagaimana beberapa kali Pemilu di era Orde Baru.

Sesuai hitungan persentase nasional, Sulawesi Selatan menjadi penyumbang suara terbanyak, sehingga Ir. Akbar Tandjung ketika menjabat Ketua Umum DPP Partai Golkar di masa awal reformasi, menggelari Sulawesi Selatan sebagai "Lumbung Golkar".

Pada Pemilu 1999, Partai Golkar kembali menjadi single majority sebagaimana pada masa-masa era Orde Baru, dan meski tetap menjadi pemenang mutlak pada Pemilu 2004, tetapi posisinya tidak lagi menjadi single majority. Kenapa itu bisa terjadi dan bagaimana cara menanggulanginya?

Buku ini coba menampilkan 16 topik senarai gagasan dalam bentuk tulisan yang kritis dari berbagai latar: Akademisi: Prof. DR. Darmawan Mas'ud Rahman, Prof. DR. H. Mansyur Ramly dan Prof. DR. Azhar Arsyad. Pengamat Sosial Politik: Katzar Bailusy, MA., DR. Qasim Mathar dan DR. Faisal Abdullah. Aktivis Ornop: Notrida Mandica, Phd., DR. Aswanto, Drs. Ambo Tang. Kader Internal Golkar: Rahman Arge, Abd. Majid Sallatu, DR. Mukhlis Sufri, dan Yagkin Padjalangi. Prolog: Marwah Daud Ibrahim. Epilog: Taslim Arifin.

Buku Pembangunan Desa

Judul: Pembangunan Desa Partisipatif, Desa Pertumbuhan dan Desa Mandiri
Penulis: Prof. DR. H. Rahardjio Adisasmita, M.Ec. DR. Mukhlis Sufri, S.E, M.,Si. dan H. Burhanuddin Baharuddin, S.E, M.Si.
Editor Naskah: Thalib Mustafa
Penyelaras: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Terbit: Meret 2007
Tebal: 148 + xxvi
ISBN: 979-1226-06-6

Sinopsis:

Pembangunan desa mempunyai peranan penting dalam konteks pembangunan nasional, selain karena mencakup bagian terbesar dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia, juga karena sekitar tujuh puluh persen jumlah penduduk Indonesia bermukim di daerah perdesaan. Untuk itulah sehingga pembangunan masyarakat perdesaan memerlukan upaya terus menerus, karena meskipun disadari bahwa pembangunan desa memiliki arti penting dalam memperkuat ketahanan nasional, tetapi perhatian terhadap pembangunan desa yang cukup besar dilakukan sejak dasawarsa 1960-an sampai sekarang ini, jika diukur berdasarkan indikator ekonomi dan sosial, pada umumnya sebahagian besar desa yang ada tingkat kesejahteraannya masih relatif rendah, sebagaimana dapat disaksikan di daerah perdesaan sampai sekarang ini, dimana masih terjadinya berbagai ketimpangan pembangunan antar perdesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan.

Paling berperan untuk menggerakkan roda pembangunan di daerah perdesaan, tentu saja adalah Pemerintah Desa itu sendiri, terutama dalam upaya menciptakan iklim yang mendorong tumbuhnya kesadaran partisipastif untuk berprakarsa dan berswadaya bagi masyarakatnya dalam setiap proses pembangunan, mulai pada saat penyusunan program, pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi. Dan untuk mencipta kesadaran masyarakat seperti itu, adalah melalui penguatan potensi sumber daya manusia sehingga memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya, yang selanjutnya akan mampu mencipta keterkaitan fungsional sektor-sektor pembangunan antar desa, antar daerah perdesaan, dan dengan daerah perkotaan, dalam rangka memperkuat pembangunan nasional secara menyeluruh.

Maka dari itulah, melalui buku ini coba diuraikan pembangunan Desa Partisipatif, yaitu pembangunan desa dengan melibatkan peran serta warga masyarakatnya, sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat secara nyata dan terarah. Partisipasi masyarakat juga dimaksudkan sebagai bagian dari kesediaan masyarakat untuk mengaktualisasikan kemampuan dan perannya dalam mengiplementasikan program-prograsm strategis sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimilikinya. Selain itu juga diuraikan kedudukan Desa Pertumbuhan, yaitu desa yang mengalami pertumbuhan didasarkan atas ketersediaan fasilitas pelayanan yang cukup, serta potensi untuk menggali sumber pendapatan, sehingga memiliki peluang menjadi desa yang tumbuh dan berkembang dibanding desa lainnya, yang akan berfungsi menjadi penggerak utama dalam mendorong pembangunan desa lain di sekitarnya, sampai menjangkau kawasan yang jauh lebih luas.

Pada bab-bab akhir buku ini, juga diuraikan secara mendalam tentang Desa Mandiri, yaitu desa yang selalu berpijak pada azas kekuatan dan keunggulan sendiri dengan berbasis pada kemampuan sumber daya lokal. Atas pengertian itu, sehingga kemandirian Desa Mandiri berdasar pada pertimbangan keunggulan komoditas, ketersediaan infrastruktur dan investasi yang dibangun atas kemampuan desa itu sendiri, serta keswadayaan masyarakatnya yang tidak lagi mengandalkan pada sumber-sumber pembiayaan yang bersumber dari luar desa tersebut, tetapi berdasar atas kemampuannya sendiri, sehingga dengan kemampuan dan kemajuan yang telah dicapainya, dengan sendirinya pula akan berlanjut pada penciptaan kemandirian dari warga masyarakatnya.

Berkisar pada pemahaman demikianlah yang coba dijabarkan dalam sepuluh bab buku yang tampil dengan judul: “Pembangunan Desa Partisipatif, Desa Pusat Pertumbuhan dan Desa Mandiri” ini, yang diurai dengan dukungan berbagai pendekatan-pendekatan, baik berdasarkan pendekatan teoritis yang sifatnya terbatas, maupun melalui pendekatan yang lebih aplikatif dan implementaif. Metoda penguraian demikian, selain diharapkan agar para pembaca buku ini dapat mengaplikasikan pengetahuannya secara langsung dan nyata di lapangan dalam menggerakkan roda pembangunan desa, juga karena materi buku ini pada prinsipnya memang sebahagian besar bersumberkan dari rangkuman makalah yang telah diajukan para penulis di berbagai pelatihan yang berbentuk peningkatan wawasan praktis dengan beragam mitra kerja.

Itulah sehingga selain buku ini patut dibaca oleh masyarakat umum dan para pemerhati pembangunan di daerah perdesaan, tetapi jauh lebih penting pula dibaca oleh para praktisi dan pelaku pembangunan desa untuk dijadikan sebagai kerangka acuan dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing sebagaimana idealnya, dalam rangka memperkuat pembangunan nasional secara menyeluruh.

Jumat, 17 Agustus 2007

Roman Jatuhnya Benteng Batu Putih

Judul: Jatuhnya Benteng Batu Putih(Bagian Tidak Terpisahkan dari Roman Kota Palopo yang Terbakar)
Penulis: Musytari Yusuf
Penyunting: armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Halaman:
Terbit:
ISBN: 979-1226-00-8

Sinopsis:

Karya sastra berbentuk roman ini, merupakan bagian tidak terpisahkan --- meskipun bukan satu kesatuan kelanjutan alur cerita --- dari roman sebelumnya yang juga ditulis Musytari Yusuf, ”Kota Palopo yang Terbakar”, yang sebelumnya juga diterbitkan toACCAe Publishing.

Kalau pada roman sebelumnya mengambil seting sepuluh tahun setelah pasukan KNIL membakar Kota Palopo, mengisahkan bagaimana petualangan Patiwiri mencari jejak Andi Radjab untuk membunuhnya, yang dia ketahui memiliki andil besar sehingga Haerani isterinya memilih jalan bunuh diri, karena merasa dirinya sudah tercemar akibat perbuatan ”tercela” dari Kapten de-Bloem, komandan pasukan KNIL, di tangsi pasukan Belanda.

Sementara pada roman ”Jatuhnya Benteng Batu Putih” ini, justru mengambil kisah pada saat peristiwa masa pergolakan awal kemerdekaan berlangsung. Ketika Kota Palopo sudah dikepung dan dibakar pasukan Belanda, sejumlah rakyat bersama Datu Luwu Andi Jemma memilih menyingkir dan menyeberang ke daerah Pomalaa, Kolaka dan sekitarnya.

Di wilayah bagian Kolaka Utara Propinsi Sulawesi Tenggara sekarang inilah roman ini berkisah tentang pertempuran antara pasukan Pembela Keamanan Rakyat (PKR) yang bertahan di suatu tempat yang disebut Benteng Batu Putih, menghadapi gempuran pasukan NICA.

Alur kisah yang terungkapkan dalam roman yang pernah diterbitkan pada awal era tahun 1970-an ini begitu mengasyikkan. Salah satu alur dialog yang menarik dalam roman ini dapat diungkapkan sebagai berikut:

Kalau saya gugur, Adi. Saribunga milikmu seratus persen”, kata Bahmid yang sedang tiarap memegang senapan di sebelah Saribunga. Tetapi sebaliknya jika kau yang gugur, dia adalah milikku seratus persen!”
 

”Kalau begitu aku dan kau masing-masing hanya memiliki separuh Saribunga saja?”, kata Adi.
 

”Cuma satu yang kucemaskan”, sela Saribunga. ”Jangan-jangan di antara kamu ada yang menembak dari belakang di dalam pertempuran nanti”
 

”Akulah sedianya yang melakukan itu, Sari. Tetapi percayalah bahwa Bahmid yang sekarang, bukan lagi Bahmid yang lama”, ujar Bahmid.
 

”He, bagaimana macamnya Bahmid yang baru itu?”, tanya Saribunga.
 

”Sari, kau dan Adi telah mengilhami jiwa kesatria kepadaku. Semula aku bergerak dalam perjuangan ini hanya ikut-ikutan. Semata-mata hanya untuk memuaskan jiwa petualangan dan segala nafsu rendahku”
 

”Dan sekarang?”, tanya Sari.
 

”Sekarang aku berjuang dengan cita-cita luhur untuk membela proklamasi kemerdekaan!”, jelas Bachmid.
 

”Tentu kau tidak akan berlaku pengecut lagi seperti pada pertempuran laut dulu”, terpis Saribunga.
 

”Akan kubuktikan sebentar lagi ini, Sari”, tandas Bachmid.
 

“Moga-moga tidak sia-sia, aku memberi semangat hidup padamu, Mid”, sela Adiwijaya.

Buku Mempersiapkan Generasi Baru

Judul: Mempersiapkan Generasi Baru (Investasi Jangka Panjang Pembangunan Sulawesi Selatan)
Penulis: Armin Mustamin Toputiri, Nur Fitri Balasing dan A.S. Kambie








Sinopsis:

Buku Atas Nama Regenerasi

Judul: Atas Nama Regenerasi (Pemuda dan Masa Depan Pembangunan Sulawesi Selatan)
Penulis: Ishak Ngeljaratan, Andi Jaya Sose, Azikin Solthan, dll.
Kata Pengantar: Idrus Marham
Penyunting: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Halaman:
Tetbit:

Sinopsis:

Sejarah bangsa membuktikan bahwa peran kaum kaum sangat signifikan dalam memajukan bangsa Indonesia, sebagaimana tercatat dalam beberapa etape kesejarahan pembaharuan kebangsaan, sebutlah diantaranya dalam rentetan gerakan kepemudaan pada tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, dan 1998. Itu membuktikan bahwa masa depan bangsa ada ditangan generasi muda selanjutnya. Begitu juga wajah Sulawesi Selatan ke depan, dapat diukur dari bagaimana wajah generasi mudanya saat ini dalam melakukan akselarasi untuk memberdayakan dirinya. Tentu saja upaya pemberdayaan itu, tidak hanya diantara kaum muda itu sendiri, bersama kelembagaannya, tetapi diperlukan adanya daya dukung eksternal.

Sadar akan tanggungjawab masa depan daerah dalam kerangka otonomi daerah, maka pada prinsipnya penyusunan arah pembangunan daerah Sulawesi Selatan, jauh lebih mengedepankan untuk memberi titik perhatian bagi pemberdayaan generasi muda --- entah bagaimana bentuknya --- dalam rangka penggalian dan pembibitan sumber daya manusia daerah, sebagai bagian dari upaya penyiapan lapis kader. Bukan lagi program yang sifatnya parsial, lain pemimpin lain kebijakan dan arah yang dituju, tetapi pada saatnya diperlukan program yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Meskipun secara konsepsional dipahami bahwa keberlanjutan dan kesinambungan bukanlah soal manusianya, tetapi pada programnya, tetapi yang hendak dimaknai adalah konsepsi program yang berkelanjutan tidak berarti apa-apa jikalau sumber daya manusia yang akan menerimanya tidak memiliki kesiapan secara maksimal. Pembangunan daerah, tentu bukan hanya untuk hari ini saja, tetapi berorientasi mendepan untuk mencapai visi dan misinya. Peluang dan tantangan pembangunan daerah ke depan, tanggungjawabnnya --- secara otomatis --- berada di tangan generasi mudanya saat ini, karena secara alamiah akan mengambil alih kepemimpinan daerah ke depan.

Sebaliknya, kelembagaan organisasi kepemudaan sebagai wadah laboratorium kader, memiliki tanggungjawab untuk sejak dini mempersiapkan kader-kadernya melalui program yang juga berorientasi mendepan, karena program pemberdayaan pemuda tidak saja berada pada program pemerintah daerah, tetapi lebih utama berada pada kelembagaan pemuda itu sendiri. Pertanyaannya, bagaimana bentuk pemberdayaan yang sebenarnya, apakah tantangan dan peluang yang akan dihadapinya di masa datang, dan bagaimanakah seharusnya peran strategis yang akan dimainkiannya?

Pengambilan topik tentang pemuda dan pembangunan yang berdimensi lokal Sulawesi Selatan, tidaklah bermaksud meminggirkan pemikiran ke wilayah kedaerahan, tetapi demikianlah semestinya kerangka berpikir strategis dalam pemberlakuan kebijakan otonomi daerah, tidak lagi tepat menyusun kerangka strategis peran kepemudaan secara nasional, lalu membiarkan kondisi lokal tertinggalkan. Paradigma yang kemudian dikembangkan, bagaimana membangun kedayaan lokal berdasarkan lingkungan strategis, untuk memperkaya kebutuhan nasional. Tepatnya, berpikir global bertindak lokal.

Pada rana pemikiran seperti itulah setidaknya buku ini diterbitkan untuk mencoba menawarkan ragam pemikiran --- meskipun tidak semuanya gagasan baru --- untuk menambah khazanah perbendaharaan pemikiran tentang problematika kepemudaan yang sudah terlanjur kita miliki sebelumnya. Setidaknya, ada sejumlah pemikiran orisinil dan gagasan baru yang kita dapat temukan dari lima belas tulisan yang termaktub dalam buku ini, yang pada prinsipnya memang pengkajiannya tidak tuntas dan dianggap tidak selesai, karena dimaksudkan untuk menyediakan ruang diskusi untuk mencoba mencari jawabnya yang tetat, sesuai kebutuhyan.

Buku ini berbentuk bunga rampai pemikiran dari tiga lapisan generasi, yaitu masing-masing, Muhammad Sabri AR, Muhammad Natsir, Andi Jaya Sose, Hasrullah, Muhlis Sufri, Idris Patarai, Imran Hanafi, Zainal A. Sandia, A. Nurfitri Balasong, Ishak Ngeljaratan, Azikin Solthan, Wendy J. Tikupadang, Ni’matullah, dan Nurcahaya Tandang, serta Idrus Marham (Kerua Umum DPP KNPI) memberi Kata Pengantar.

Buku Qahhar Mudzakkar

Judul: Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menuju Persaudaraan ManusiaPenulis: Abdul Qahhar Mudzakkar
Editor: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Halaman:
Terbit:
ISBN:

Sinopsis: 
“Entah Sukarno masih ingat atau sudah lupa bahwa dilapangan Ikada Djakarta, pada tgl. 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakjat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakjat penduduk Djakarta dan Barisan Pemuda jang ada di Lapangan Ikada pada waktu itu, tidak ada seorang pun jang sanggup berdiri dimuka auto Bung Karno untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bajonet tentara Djepang, ketjuali saja seorang diri dengan sebilah golok ditangan dengan nekad dan nekad mengundurkan tentara Djepang jang sudah penuh membandjir mengelilingi auto Bung Karno dan Bung hatta dengan bajonet terhunus”
(Abdul Qahhar Mudzakkar, Muharram 1380 H/Djuli 1960 M)

Demikian diungkapkan Qahhar Mudzakkar dalam buku yang ditulisnya “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” (diterbitkan ulang Madinah Press, Jakarta: 1999), disaat mempertegas bahwa dirinya bukan membenci Sukarno atau membenci suku Jawa, tetapi dia tegas mengakui membenci prilaku dan kebijakan Sukarno yang memberi ruang gerak kepada paham komunis dengan memperalat suku bangsa Jawa --- yang selalu diagung-agungkan Sukarno --- untuk memasuki jantung sendi-sendi kehidupan bernegara, dengan cara menyebarnya ke seluruh pelosok nusantara, untuk dengan alasan mengembalikan kesatuan bangsa kepada “kepribadian Indonesia” sebagaimana dilakukan Majapahit dalam penyatuan nusantara.


Padahal dengan cara seperti itu, dipahami oleh Qahhar Mudzakkar sebagai siasat Sukarno untuk menjadikan simbol perjuangan Majapahit bagi suku bangsa Djawa untuk melancarkan ambisi kekuasaannya dalam penguasaan seluruh wilayah Indonesia. Dengan doktrin Majapahit itulah, sehingga suku bangsa Jawa diperalat untuk menegakkan kesatuan nusantara, dengan doktrin bahwa barang siapa tidak memberi dukungan terhadap konsepsi itu, maka dialah penantang yang harus dibumi hanguskan.

Paham yang ditanamkan Sukarno seperti itu, dipahami Qahhar Mudzakkar sebagai politik adu domba untuk saling mempertentangkan dan saling membunuh antar warga bangsa sendiri, --- chususnya terhadap golongan kami DI/TII di Sulawesi, katanya --- dan cara-cara Sukarno seperti itu kata Qahhar, sebagai bagian dari bentuk penanaman paham komunis kepada rakyat, yang harus juga dilawan karena sangat bertentangan dengan firman Tuhan dalam al-Qur’an 8 : 55; “Inna sjarraddawabbi ‘indallahi lladzina kafaruu fahum laa ju’minun” (Sesungguhnya binatang (mahluk) yang paling buruk disi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman).

Atas dasar firman itu, Qahhar Mudzakkar kemudian menyatakan sikapnya bahwa: “Tegasnya pada setiap saat golongan Komunis Indonesia mengadjak kami berperang, ‘Insya Allah setapak pun kami tidak akan menarik langkah surut membelakanginja” 
Bentuk-bentuk dan cara seperti itulah, dikatakan Qahhar bahwa Sukarno bersama golongan pengiktnya yang fanatik telah menjalankan bentuk penjajahan baru di Indonesia dengan memaksakan “Kebangsaan-Kesatuan” versi Majapahit dengan asas Pancasila-nya untuk segenap seluruh golongan bangsa Indonesia, yang belum tentu dipahami dan diterima oleh suku bangsa lainnya di Indonesia, kecuali suku bangsa Jawa. Itu berarti bahwa Pancasila memang tidak menganut paham yang universal. Pancasila tidak memiliki nilai-nilai kemanusian dan persaudaraan, yang dibuktikan misalnya dengan pemberlakuan praktek politik adu domba dan pertentangan antar warga bangsa sendiri.

Maka dari itulah, dalam uraian buku ini, Qahhar Mudzakkar secara terbuka mengungkapkan bagaimana ia berusaha mengajak Sukarno sebagai sesamanya manusia untuk kembali ruju’ ke jalan yang benar, ajaran agama, yakni Islam yang memiliki ajaran yang bernilai universal, yang dikatakannya dalam buku ini: “Saja berkejaqinan teguh bahwa bahwa perdamaian dan persaudaraan jang dirindukan oleh manusia itu sepandjang masa tidak akan didjumpai djika manusia tidak suka bersungguh-sungguh mempeladjari Adjaran-Islam, dimana semangat perdamaian dan persaudaraan itu telah diutamakan Tuhan didalamnja” 
Ruju’ kepada ajaran Islam, ajaran kebanaran yang dapat diterima oleh seluruh suku bangsa di dunia, termasuk suku bangsa di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga dengan sendirinya hanya ajaran Islam-lah yang menurut tujuan perjuangan DI/TII yang harusnya menjadi landasan ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat menciptakan persaudaraan sesama manusia.

Ajakan seperti itulah yang disampaikan oleh Qahhar Mudzakkar kepada Sukarno --- sekaligus menjadi judul buku ini --- lewat suratnya yang diantar langsung oleh salah seorang isterinya Corrie V. Stenus lewat perantaraan dan pertolongan St. Fatmawati --- isteri kesayangan Sukarno --- yang kemudian diketahui oleh Qahhar bahwa suratnya kemudian disia-siakan oleh Sukarno. Padahal dalam isi surat politik yang cukup panjang lebar itu, terkandung keinginan Qahhar untuk berdamai, dan berjanji akan segera memberhentikan pemberontakannya dan kembali kepangkuan ibu pertiwi, sepanjang Sukarno juga mau menerima ajakannya.

Betapa menariknya mencermati isi surat pribadi Abdul Qahhar Mudzakkar kepada Sukarno, pada bagian awal pembuka surat itu, Qahhar secara terbuka menyatakan kebimbangan dan keraguannya, karena dirinya menyadari bahwa sudah semestinya Bung Karno pasti kecewa pada dirinya karena telah mempelopori pemberontakan terhadap Pemerinntahan Negara yang sudah semestinya dia taati. Qahhar juga mengakui telah berbuat jauh menanam fitnah-kebencian terhadap diri pribadi Bung Karno dan terhadap pemerintah R.I. yang dicapnya telah berbuat sewenang-wenang di luar ajaran Islam dan dilur ajaran agama lainnya.

Surat politik yang sangat berarti atas berlanjut tidaknya pemberontakan Qahhar bersama pasukannya itu, ternyata tidak mendapatkan tanggapan positif dari Sukarno. Barangkali, atas dasar kejadian itulah yang kemudian memberi inspirasi Qahhar Mudzakkar sehingga dirinya menulis buku ini sebagai ungkapan penyesalannya, agar katanya --- sebagaimana diungkapkan dalam pengantar buku ini --- kelak diketahui oleh segenap golongan bangsa indonesia, anak turunan para syuhada, dan menjadi saksi sejarah bagi generasi selanjutnya.

Untuk itulah sehingga, selaku penyunting buku ini berupaya untuk tetap konsisten pada orisinalitas buku ini dalam penerbitannya ini. Tidak saja mempertahankan bentuk penulisannya yang pada ejaan lama, tetapi juga pada gaya ungkap, penuturan, sistemati dan model penulisan yang apa adanya. Terkecuali dilakukan pemberian cetak miring pada kata atau kalimat yang diberi tanda petik oleh penulisnya, atau cetak miring pada setiap penyebutan nama orang untuk mendekatkannya pada indeks (terlampir), serta cetak miring dilakukan pada naskah surat-surat yang dikutip ulang secara lengkap oleh penulisnya, untuk membedakan dengan naskah penguraian lainnya dari bab demi bab.

Buku yang aslinya diketik dengan mesin ketik manual ini, juga lakukan penyempurnaan pada bagian bab. Pada naskah aslinya, “Kata Pengantar Penulis” mulanya dimasukkan penulisnya dalam Bab I, mengukuti secara berurut sampai pada bab IX bagian Penutup. Tetapi untuk edisi penerbitan ini, Kata Pengantar Penulis sengaja dipisahkan secara tersendiri, sehingga Bab II dari aslinya dijadikan Bab I untuk mengikuti bab-bab selanjutnya, sehingga hanya menjadi VIII bab saja.

Sejumlah penyempurnaan itu diharapkan tidak mengaganggu orisinalitas buku yang memiliki nilai sejarah tinggi ini, justru diharapkan untuk memberi penekanan-penekanan yang lebih berarti terhadap sistematika penguraiannya, karena inilah untuk pertama kalinya buku ini diterbitkan untuk publik secara terbuka, dimana sebelumnya kami ketahui pernah diterbitkan hanya dalam lingkungan terbatas, itupun secara “sembunyi-sembunyi”, baik di masa saat masih berlangsungnya pemberontakan, maupun di masa kekuasaan orde baru, dimana buku semacam ini dilarang diterbitkan dan diedarkan.

Maka di era reformasi saat ini, adalah menjadi kesempatan terbaik untuk menghadirkan buku ini kepada publik umum sebagaimana “wasiat penulisnya”, selain menjadi informasi terbuka bagi publik yang belum memahami hakekat perjuangan dan pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar, buku ini sekaligus sebagai bahan pembanding bagi publik yang hanya memahami sejarah perjuangan dan pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar secara sepihak, karena inilah salah satu buku yang menjadi penjelasan langsung dari pelakunya.

Publik harus paham secara berimbang, bahwa Abdul Qahhar Mudzakkar tidak hanya tercatat dalam sejarah sebagai sang legendaris “pemberontak”, tetapi juga semestinya publik juga harus tahu bahwa dia juga sang “patriot”legendaris pemberani yang pantang menyerah, berani menerobos seorang diri untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bayonet tentara Jepang di Lapangan Ikada. Kisah sekeping kenyataan itulah yang diungkapkannya, yang sengaja dikutip di awal pengantar ini. Tetapi pengungkapan seperti itu baginya tidak ada maksud untuk melunturkan integritasnya dan merubah sikapnya, tetapi semata untuk mengingatkan Sukarno. Kata Qahhar; “Saja kenangkan ulang kedjadian itu, bukan untuk meminta balasan djasa dari Sukarno, dan bukan meminta pudjian Sukarno”.

Jejak dan Langkah H. Arifin Nu'mang

Judul: Jejak dan Langkah H. Arifin Nu'mang
Penulis: Armin Mustamin Toputiri
Kontributor: A. S. Kambie & Idwar Anwar
Terbit: April 2006
Penerbit: toACCAe Publishing
ISBN: 979-98972-8-9
Halaman: xxviii + 165

Sinopsis:

Buku ini merupakan memoar ”Jejak dam Langkah” sosok H. Arifin Nu’mang sebagai seorang pejuang yang mengabdikan seluruh jiwa raganya hanya untuk tanah tumpah darahnya, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan. Ia mengikuti jejak ayahnya La Nu’mang sebagai gerilyawan dalam Laskar Ganggawa di Kota Pare-Pare dan sekitarnya untuk mengusir kaum kolonial dari Bumi Pertiwi, namun dalam masa perjuangan ayahnya kemudian tertembak mati oleh kekejaman pasukan Westerling dalam pembantaian rakyat secara massal di Pare-Pare.

Meski demikian, semangatnya tidak pernah surut, sehingga pada akhirnya ia diangkat menjadi TNI. Posisi paling akhir dijabatnya dalam karir militer adalah Komandan Batalyon 011 Toddopuli, yang menjadi fasilitator rekonsiliasi sangat bersejarah, yaitu antara Pangdam Hasanudddin, M. Yusuf dengan Andi Selle di Pinrang. Selanjutnya ia dikaryakan sebagai Bupati Sidrap selama dua periode (1966-1978). Sebagai Bupati ia coba mendobrak keterbelakangan melalui sejumlah karya monumental untuk mensejahterakan rakyatnya. Sejumlah karyanya masih tetap dinikmati masyarakat sampai sekarang. Kisah inilah yang memberi inspirasi buku ini diberi judul: ”Mengubah Tantangan Menjadi Anugerah”.

Selain itu, sebagai Bupati ia juga berhasil mengembangkan sumber daya manusia di Sidrap. Banyak kader handal di lingkungan pemerintahan dilahirkannya, diantaranya ada sembilan orang kader dan mantan bawahannya belakangan mengikuti jejaknya terpilih sebagai Kepala Daerah, diantaranya Zaing Katoe (Walikota Pare-Pare), Opu Sidik (Mantan Bupati Sidrap), Malik B. Masry (Mantan Walikota Makassar), serta lainnya, sehingga H. Arifin Nu’mang patut pula digelari sebagai ”Tokohnya para Tokoh”.

Paling akhir dari pengabdiannya sebelum menemui ajalnya di Rumah Sakit Pelamonia 07 April 1996, ia mendapatkan amanah sebagai Anggota DPRD Sulawesi Selatan, dua periode. Bersamaan dengan itu memimpin Markas Daerah LVRI Sulawesi Selatan selama 17 tahun hingga akhir hayatnya sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar.