Jumat, 20 Februari 2015

Resensi (3) Novel Kota Palopo yang Terbakar




Pahlawanku, Takkan Kulupakan Engkau

Oleh Gina Maliha Rahmawati

Buku ini adalah sebagai pemenang lomba mengarang yang diadakan UNESCO – Ikapi dan diterbitkan oleh “Pelita Masa” Bandung, pada tahun 1960. Apabila kita membaca novel ini, terasalah oleh kita suasana yang mempengaruhi Sulawesi Selatan umumnya kota Palopo.
 
Novel yang mempunyai alur maju mundur ini berceritakan tentang bagaimana bangsa Indonesia yang besar sedang diuji. Pemberontakan dimana-mana dan rakyat menderita. Untuk mencapai cita-cita yang mulia sebagai suatu bangsa yang besar, bangsa Indonesia, terlebih dahulu harus membayarnya dengan kenyataan yang pahit. Pada awal tahun 1946 kota palopo, yang sering kita kenal sebagai kota revolusi ini hancur lumat dicabik-cabik oleh api revolusi kemerdekaan, dibakar oleh kekejaman para sekutu.
Didalam novel ini pun sudah mulai hilang bahasa-bahasa melayu. Jadi mudah untuk dipahami. Novel ini pun mempunyai sudut pandang sebagai orang ke-3 dan merupakan novel yang mempunyai gambaran tentang masa penjajahan Indonesia sebelum dan sesudah merdeka.
 
Dalam novel inipun diceritakan kisah hidup seorang guru muda, yaitu ibu Hamida yang mempunyai semangat besar untuk mengajar anak-anak di Sekolah Rakyat II Kampung Pisang. Dengan ketulusan hatinya ia mengajarkan kepada anak-anak pentingnya mangetahui sejarah. Apalagi sejarah negeri kita sendiri. Kita bisa tahu dan meneladani perjuangan-perjuangan para pahlawan pada zaman revolusi itu. Bu Hamida pernah mengalami pemeriksaan oleh Sersan Mayor Bambang karena diduga bersekongkol dengan para gerombolan. Tapi itu semua tidak membuat Ibu Hamida menyerah untuk mengajar. Menurutnya mengajar adalah hal terpenting dari hidupnya.
 
Yang lebih menarik lagi dalam cerita ini digambarkan pergabungan diantara paham separatisme dengan dendam pribadi, laksana ombak kecil menumpang diatas gelombang besar. Dan juga menggambarkan betapa besarnya pengaruh ajaran sirik, yaitu suatu ajaran menjaga nilai harga diri pada suku bangsa Bugis, Makasar, Mandar, dan Toraja.
Penting sekali buku ini, untuk kita kenang kembali bagaimana suasana, kondisi dan situasi tanah air kita pada waktu-waktu yang demikian,untuk menimbulkan penghargaan kita kepada hasil keamanan yang kita capai dengan membayar mahal. Karena pak Soekarno pun pernah menyebutkan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
 
Selain novel,saya juga menemukan hal yang menarik dari judul Kota Palopo Yang Terbakar ini. Saya menemukan sebuah lagu yang berjudulkan sama. Saya kutipkan sedikit dalam resensi ini.

Kota Palopo yang terbakar,
terbakar oleh api.
Kiri kanan api menyala
sedang dipandang hati nan susah.
Tengok kekiri ke Salobulo,
tengok kekanan gunung Pattene,
tengok kemuka ada satu pulau yang kecil,
nama pulau Libukang.
Hai Penggoli Batupasi,
tambah lagi Pongjalae..
.

e e e...... lupa sudah.

Sumber: http://profesorbodoh.blogspot.com/2010/08/resensi-novel.html

Kumpulan Sajak Asdar Muis RMS





Judul Buku: MENUJU TEPI TAK BERUJUNG (105 sajak Menjelang Ajal)
Penulis: Asdar Muis RMS

Kata Pengantar: Ishak Ngeljaratan

Penyunting: Nur Alim Djalil dan Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe INSTITUTE
Terbit: Januari 2015


Pengantar:

Asdar Muis RMS, seniman multitalenta, pendiri “Komunitas Sapi Berbunyi”, lahir di Pangkep, 13 Agustus 1963, lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Pelamonia, 27 Oktober 2014, sesaat setelah berpentas theater di Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Ketika detik-detik ajal menjemputnya, sejak 3 Juli 2014, setiap hari ia menuliskan sajak tentang identitas kemanusiaan dirinya di muka Tuhan. Lalu bagaimanakah ia menyiapkan diri menghadapi ajal --- yang ia katakan rahasia Tuhan yang bukan ramalan --- yang memang ia “rasakan” kian mendekat untuk datang menjemputnya, kembali menemui Sang Maha Pencipta.

105 sajak yang seluruhnya diberi judul “Menuju Tepi Tak Berujung” (masing-masing judul dibedakan hanya berdasar deret angka) itu, rutin setiap hari ia tulis dan tampilkan di media jejaring sosial, halaman facebook miliknya, berdasar tanggal penulisan dan tempat dimana sajak itu lahir. Sajak-sajak itu terus mengalir deras, hingga waktunya 15 Oktober 2014, Asdar menampilkan sajak e-105 yang ia tulis di Tamalanrea-Makassar, sekaligus sajak terakhir, tepat 13 hari sesudahnya --- ajal yang sudah mendekat dan sepertinya memang sedang ia tunggu-tunggu --- benar-benar datang menjemputnya.

 “Saya akan terus menulis sajak-sajak ini hingga saya tak lagi sanggup menuliskannya”, jawabnya enteng ketika suatu waktu ditanyakan sampai kapan ia akan mengakhiri penulisan sajak yang bergerak berdasar deret angka-angka dan hari-hari itu. Pertanyaan disampaikan sekian orang-orang terdekatnya, sesungguhnya mengandung makna lain, karena mereka menyayangi seorang Asdar, sebab semakin menghayati sajak-sajak ditulisnya, semakin mencipta kerisauan, menggetarkan batin dan dinding nurani yang terdalam.

Asdar tidak berarti tak menangkap makna di balik pertanyaan orang-orang terdekatnya itu, bahkan sebaliknya ia sangat paham. Dan Asdar tidak berhenti, tetap saja menulis sajak-sajaknya sesuai deret-deret angka berikutnya, hingga saatnya sang isteri yang ia cintai, ikut pula meluapkan kerisauan yang telah memuncak. Tapi juga ditepisnya dengan enteng, “Mama, tak perlu kau risau, syair-syair yang kutulis itu, sebatas hanya bait-bait imajinasiku saja, murni karya sastra”.

Memang semua ditepisnya dengan enteng, karena baginya siapa pun yang hidup di bumi ini, tak akan bisa lari ke manapun. Ajal pasti datang. Siapa pun pasti bertemu ajal. Lalu siapakah manusia yang tahu rahasia Tuhan, kapankah waktunya ajal datang. Tapi itulah Asdar, bahkan kerapkali ia menyampaikan --- secara serius juga kadang dengan nada kelakar --- kepada sekian orang dekatnya, jika dirinya sudah tak lagi memiliki cukup waktu untuk berlama-lama berada di muka bumi ini. Ajalnya sudah mendekat.

Lima hari menjelang ajalnya tiba, Asdar berbincang melalui massenger Facebook dengan Fadli Sihasaleh, seorang kerabatnya: …”Gimana kabar kak?”… “Doakan, ajalku sudah mendekat”… “Kakak bukan Tuhan”… “Kok!”… “Maksudku, kakak ingin cepat mati?”… “loh, apa enak jika ajal tak datang, mau hidup sampai kapan?”… “Kematian kan datang sendiri”…“mau-maumu” (rekaman dialog massenger fb, 23 Oktober 2014).

Sungguh sebuah peristiwa kesadaran transendental yang nyata. Dan fenomena itulah yang terungkap ketika membaca sajak-sajak “Menuju Tepi tak Berujung”, 105 Sajak Menjelang Ajal ini. Sepertinya Asdar telah mendengar lonceng kematian sebelum ajalnya tiba. Ketika ajal mendekat, Asdar seolah sudah merasakan getarannya. Sebuah getaran yang datang kurang lebih 118 hari, atau kurang lebih empat bulan menjelang ajalnya tiba, dihitung sejak awal mula sajak-sajak ini ia tulis hingga ajal benar-benar menjemputnya.

Asdar kadang sangsi, betapa banyak limpahan kasih sayang Tuhan yang telah ia abaikan. Jika saatnya ajal datang, akankah Tuhan memaafkan sikap abainya itu. Tetapi Asdar mencoba berdamai dengan kepasrahan, menerima ajal dengan lapang. Ia menyadari, perjalanan hidup di alam raya ini, seluruhnya adalah isyarat-isyarat tentang kematian. Perwujudan dari sang maut. Maka menyambut ajal, mestilah diakrabi, bahkan diajak berdialog, sebab bukankah Tuhan maha pengampun, maha pengasih dan penyayang.

Perjalanan hidup dan proses kreatif  yang sungguh luar biasa. Sebuah fakta kehidupan bagai lakon theater yang telah terbingkai dalam catatan skenario. Tentu saja, bahwa Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang, tidaklah memberi hidayah pada banyak orang, selain pada hamba-Nya yang Ia kasihi dan sayangi, seperti diberikan pada Asdar. Sungguh sangat langka manusia diberi anugerah kehidupan seperti itu. Terlebih lagi karena juga dianugerahi kemampuan menangkap rahasia Tuhan akan datangnya ajal. Lebih luar biasanya lagi karena persentuhan spiritual itu dituliskan dalam bentuk sajak.

Latar proses kreatif seperti itulah yang menjadi keunggulan dan kekuatan 105 sajak yang ditulis Asdar ini. Ditulis menjelang ajal. Memiliki kekuatan magic transendental yang sangat kuat untuk mengikat setiap bait-bait syairnya. Siapa pun membaca dan mengamalkannya, kelak menjadi amalan jariyah yang terus mengalir baginya di alam sana. Menjadi bantalan emas lelap tidurnya di syurga. Memiliki nilai keabadian, meskipun jasadnya telah lekang berkalang tanah.

Alasan seperti itulah yang menjadi pertimbangan utama kumpulan sajak Asdar Muis RMS ini diterbitkan. Sama seperti yang ia harap dalam sajak 101:

… Pada buku-buku lama lembaran tua/ Kuberharap: aku bukan lembaran kertas hancur/ Kuberharap: masih ada catatan tentang aku/ Kuberharap: aku masih terbaca/ Walau hanya debu berakhir tak napas/ Karena, di lembaran kusam pun/ Kuingin aku dikenang/ Bila esok aku pulang ke rumah-Mu.  

Salam hormat disampaikan pada siapa saja yang telah ikut serta mendukung penerbitan buku ini. Terima kasih kepada keluarga besar Asdar Muis RMS, terutama pada Hj. Herlina --- isteri yang sangat dikasihi Asdar sekaligus penerima waris hak cipta karya-karya Asdar --- yang telah memberi izin untuk menerbitkan kumpulan sajak “menjelang ajal” ini. Penghargaan disampaikan pada Bapak Ishak Ngeljaratan yang berkenan memberi Kata Pengantar. Semoga semua niat baik dan kebajikan ini bernilai ibadah, kita serahkan seluruhnya pada Allah SWT, Amiin.

Makassar, Januari 2015
    
Nur Alim Djalil & Armin Mustamin Toputiri

Resensi (2) Novel Kota Palopo Terbakar



Cinta dan Kehormatan

Oleh Eko Rusdianto

Musytari Yusuf menulis tentang laku kehidupan dan adat yang dipegang teguh masyarakat Bugis dan Makassar pada umumnya, siri’. Menggambarkannya dengan baik dan penuh kehangatan, setting ceritanya mengambil masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Palopo, Sulawesi Selatan.

Pasca pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kahar Muzakkar pria militer setelah melanglang buana di Jawa kembali ke Sulawesi Selatan. Kekecewaannya untuk mendapatkan pengakuan negara agar para pasukannya dimasukkan dalam angkatan militer tak dipenuhi Presiden Soekarno.

Dia sakit hati. Pada 1950-an akhir, Kahar melakukan perlawanan, menggunakan taktik gerilya, dan mengatur strateginya di hutan-hutan Sulawesi Selatan. Kemudian arah perjuangan mulai berubah ketika pada 1953 memproklamirkan keikutsertaannya bergabung dengan TII dalam kesatuan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewiryo di Jawa Tengah. Kahar menjabat sebagai menteri pertahanan NII.

Dan karena ideologi perjuangan yang berubah itu, keadaan menjadi lebih keras. Di Palopo bahkan terjadi garis pemisah antara TNI dan TII. Kampung-kampung yang menganut kepercayaan selain muslim diserang dan diduduki. Semenatara masyarakat yang terperangkap pada garis pemisah itu tak dapat kembali lagi. Keluarga-keluarga terpisah, antara orang tua dan anak, pasangan kekasih, dan kawan-kawan.

Pada 1955, seorang pemuda bernama Patiwiri kembali ke Palopo dari pelariannya. Kota yang seharusnya tak dijejak lagi, setelah kekalahannya bersama Datu Luwu, Andi Djemma, pada 1946, dan Palopo terbakar oleh api revolusi tentara NICA.

Tapi kepulangannya kali ini bukan untuk berjuang lagi, melainkan menuntut balas atas kematian isterinya yang tidak wajar, bunuh diri. Dia mengalami perkosaan oleh seorang bernama Andi Rajab.

Andi Rajab adalah komandan pasukan Momok Hitam bentukan Kahar Muzakkar, yang sepak terjangnya begitu ditakuti. Sering mengadakan penghadangan dan menembaki pasukan TNI. Momok Hitam adalah pasukan khusus.

***

SEBELUMNYA saya tak pernah mengenal nama Musytari Yusuf. Saya bahkan baru mengetahuinya awal tahun 2012 ketika ada diskusi peringatan hari jadi Luwu di Malili.

Musytari Yusuf adalah seorang pengarang buku roman sejarah Kota Palopo yang Terbakar. Sebuah cerita yang memenangkan sayembara mengarang UNESCO-IKAPI dan diterbitkan pertama kali tahun 1969 di Bandung. 

Buku cetakan pertama dan kedua dengan judul yang memakai nama pena pengarang, Mohayus Abukomar. Tapi pada cetakan ketiga yang diterbitkan oleh toACCAe PUBLISHING tahun 2006, nama Musytari Yusuf digunakan. Alasan toACCAe menggunakan nama aslinya karena pertimbangan buku lainnya yang menggunakan nama Musytari.

Buku itu setebal 260 halaman, tidak termasuk kata pengantar. Sementara kata pengantarnya, ditulis oleh Buya Hamka. Menurut Hamka, jalan cerita buku ini cukup baik, dan begitu penting untuk kembali mengenangkan suasana, kondisi, dan situasi tanah air pada masa itu.

Hamka juga menyanjung, gaya bahasa yang digunakan Mohayus Abukomar. Menuliskan sebagai lemah lembut, seperti budi bahasa orang Bugis dan Makassar setiap hari, asal saja kehormatan dirinya tak disunggung dan dicemari.

Musytari Yusuf lahir di Palopo pada 15 Juni 1938. Jadi ketika buku pertama itu terbit usia Musytari sudah 31 tahun. Usia yang menurut saya memiliki pengalaman dan keadaan hidup yang baik.

Di Palopo, mendapati seorang penulis merupakan kesenangan yang tiada tara bagi saya, meskipun sudah meninggal. Saya akan membaca setiap kalimat dalam buku itu dengan teliti, lalu mencermatinya. Kegirangan saya akan semakin menjadi ketika mendapati nama daerah yang ditulis dan saya ketahui, apalagi pernah mengunjunginya.

Ketika saya ke Makassar pada 2002 untuk melanjutkan kuliah. Saya juga merasa kecolongan karena mendapat kabar dan cerita tentang seorang penulis yang cukup baik dan tinggal di Palopo. Namanya Sanusi Daeng Mattata, judul bukunya Luwu dalam Revolusi.

Waktu itu, Sanusi Daeng Mattata adalah nama asing bagi saya, sama dengan Musytari. Tapi beberapa lama kemudian saya tahu siapa Mattata sesungguhnya. Dia adalah orangtua tetangga saya di kampung, desa Suli. Kami memanggilnya dengan nama Pettaji. Dia meninggal ketika saya masih di sekolah dasar.

***

SAAT kapal Intata merapat ke pelabuhan Palopo, hati Patiwiri bergetar kuat. Ketika bertemu adiknya, dia merangkulnya cukup lama. Sementara orang tuanya berada di hutan, karena terjebak garis pemisah itu. Meski sebenarnya orang  tua Patiwiri tak menginginkan bergabung dengan DI/TII.

Andi Rajab juga bermarkas di hutan. Patiwiri mencari jalan untuk menemuinya. Melewati hutan belantara, dari wilayah Latuppa – sekarang menjadi objek wisata permandian --- hingga menuju daerah pegunungan Enrekang.

Di hutan itu, dia menemukan kedua orang tuanya. Ayahnya memberi sebuah badik. Saya kutipkan dialognya:

“Ini keris bertuah nak. Besi Luwu tempahan Ussu’. Ia masih dipakai oleh nenekmu, ayah saya dalam perang Bone pada tahun 1905. Anyir baunya nak, karena darah manusia. Jeruk nipis sekalipun tak sanggup menghilangkan keanyirannya,”

“Selama menyimpan keris itu nak, aku merasa jiwaku terpelihara,” sambung ayahnya lagi. 

“Sekarang saya beritahukan nak, bahwa orang yang harus kau cari itu, sudah mempunyai kedudukan. Apa kau gentar nak?”

“Sekali-kali tidak. Apa kedudukannya pak?”

“Laki-laki itu sama saja nak,” kata ayahya. “Sekalipun beralinan-lainan kedudukannya. Kalau ada yang membedakan hanyalah kekerasan hati dan ketiadaan gentar belaka. Tetapi laki-laki yang berdiri dipihak yang benar, lebih kuat dari pada yang berdiri dipihak yang salah,”

“Saya merasa dipihak yang benar pak,”

“Kata orang dia kebal nak, kau takut.” Patiwiri tak menjawab. Awan hitam berarak di wajahnya, ada nada tanda-tanda putus asa terguras pada air mukanya. “Jangan kuatir nak,” kata ayahya menyambung. “Keris itu, yang ada digenggamanmu sekarang hanya menikam sekali dan tak ada kulit yang kebal baginya. Hanya nak, dia itu seorang komandan yang mempunyai pasukan yang disegani.”

Beberapa hari kemudian pada sebuah pagi, Patiwiri menyelipkan badiknya di pinggang menuju sebuah sungai. Dia mengikuti Andi Rajab dari jarak yang bisa dijangkau. Andi Rajab alias Guntur selesai mandi, mengambil wudhu dan menunaikan salat. “Sembahyanglah yang baik karena ini akhir sembahyangmu,” kata Patiwiri berbisik pada dirinya dari jarak tertentu.

Lalu tiba-tiba, badik itu menikam perut Andi Rajab. Badannya jatuh bersandar pada sebuah batu. “Beri sekali lagi,” kata Andi Rajab. Patiwiri tak memenuhinya. Badiknya hanya menikam sekali saja.

Kini Patiwiri merasa puas. Selama berhari-hari, dia merencakan niatnya dan mematuhi janjinya untuk tak makan nasi sebelum pemerkosa istrinya itu mati. “Alangkah enak nasi setelah berminggu-minggu tidak merasainya,” kata Patiwiri..