Judul Buku: MENUJU TEPI TAK BERUJUNG (105 sajak Menjelang Ajal)
Penulis: Asdar Muis RMS
Kata Pengantar: Ishak Ngeljaratan
Penyunting: Nur Alim Djalil dan Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe INSTITUTE
Terbit: Januari 2015
Pengantar:
Asdar
Muis RMS, seniman multitalenta, pendiri “Komunitas Sapi Berbunyi”, lahir di
Pangkep, 13 Agustus 1963, lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah
Sakit Pelamonia, 27 Oktober 2014, sesaat setelah berpentas theater di Benteng
Fort Rotterdam, Makassar. Ketika detik-detik ajal menjemputnya, sejak 3 Juli
2014, setiap hari ia menuliskan sajak tentang identitas kemanusiaan dirinya di muka
Tuhan. Lalu bagaimanakah ia menyiapkan diri menghadapi ajal --- yang ia katakan
rahasia Tuhan yang bukan ramalan --- yang memang ia “rasakan” kian mendekat
untuk datang menjemputnya, kembali menemui Sang Maha Pencipta.
105
sajak yang seluruhnya diberi judul “Menuju Tepi Tak Berujung” (masing-masing
judul dibedakan hanya berdasar deret angka) itu, rutin setiap hari ia tulis dan
tampilkan di media jejaring sosial, halaman facebook miliknya, berdasar tanggal
penulisan dan tempat dimana sajak itu lahir. Sajak-sajak itu terus mengalir
deras, hingga waktunya 15 Oktober 2014, Asdar menampilkan sajak e-105 yang ia
tulis di Tamalanrea-Makassar, sekaligus sajak terakhir, tepat 13 hari
sesudahnya --- ajal yang sudah mendekat dan sepertinya memang sedang ia
tunggu-tunggu --- benar-benar datang menjemputnya.
“Saya akan
terus menulis sajak-sajak ini hingga saya tak lagi sanggup menuliskannya”, jawabnya enteng ketika suatu waktu ditanyakan sampai
kapan ia akan mengakhiri penulisan sajak yang bergerak berdasar deret
angka-angka dan hari-hari itu. Pertanyaan disampaikan sekian orang-orang
terdekatnya, sesungguhnya mengandung makna lain, karena mereka menyayangi
seorang Asdar, sebab semakin menghayati sajak-sajak ditulisnya, semakin
mencipta kerisauan, menggetarkan batin dan dinding nurani yang terdalam.
Asdar
tidak berarti tak menangkap makna di balik pertanyaan orang-orang terdekatnya
itu, bahkan sebaliknya ia sangat paham. Dan Asdar tidak berhenti, tetap saja menulis
sajak-sajaknya sesuai deret-deret angka berikutnya, hingga saatnya sang isteri
yang ia cintai, ikut pula meluapkan kerisauan yang telah memuncak. Tapi juga
ditepisnya dengan enteng, “Mama, tak
perlu kau risau, syair-syair yang kutulis itu, sebatas hanya bait-bait
imajinasiku saja, murni karya sastra”.
Memang
semua ditepisnya dengan enteng, karena baginya siapa pun yang hidup di bumi
ini, tak akan bisa lari ke manapun. Ajal pasti datang. Siapa pun pasti bertemu ajal.
Lalu siapakah manusia yang tahu rahasia Tuhan, kapankah waktunya ajal datang.
Tapi itulah Asdar, bahkan kerapkali ia menyampaikan --- secara serius juga
kadang dengan nada kelakar --- kepada sekian orang dekatnya, jika dirinya sudah
tak lagi memiliki cukup waktu untuk berlama-lama berada di muka bumi ini.
Ajalnya sudah mendekat.
Lima
hari menjelang ajalnya tiba, Asdar berbincang melalui massenger Facebook dengan
Fadli Sihasaleh, seorang kerabatnya: …”Gimana
kabar kak?”… “Doakan, ajalku sudah mendekat”… “Kakak bukan Tuhan”… “Kok!”…
“Maksudku, kakak ingin cepat mati?”… “loh, apa enak jika ajal tak datang, mau
hidup sampai kapan?”… “Kematian kan datang sendiri”…“mau-maumu” (rekaman
dialog massenger fb, 23 Oktober 2014).
Sungguh
sebuah peristiwa kesadaran transendental yang nyata. Dan fenomena itulah yang
terungkap ketika membaca sajak-sajak “Menuju Tepi tak Berujung”, 105 Sajak
Menjelang Ajal ini. Sepertinya Asdar telah mendengar lonceng kematian sebelum
ajalnya tiba. Ketika ajal mendekat, Asdar seolah sudah merasakan getarannya. Sebuah
getaran yang datang kurang lebih 118 hari, atau kurang lebih empat bulan
menjelang ajalnya tiba, dihitung sejak awal mula sajak-sajak ini ia tulis
hingga ajal benar-benar menjemputnya.
Asdar
kadang sangsi, betapa banyak limpahan kasih sayang Tuhan yang telah ia abaikan.
Jika saatnya ajal datang, akankah Tuhan memaafkan sikap abainya itu. Tetapi Asdar mencoba berdamai dengan kepasrahan, menerima
ajal dengan lapang. Ia menyadari, perjalanan hidup di alam raya ini, seluruhnya
adalah isyarat-isyarat tentang kematian. Perwujudan dari sang maut. Maka
menyambut ajal, mestilah diakrabi, bahkan diajak berdialog, sebab bukankah
Tuhan maha pengampun, maha pengasih dan penyayang.
Perjalanan
hidup dan proses kreatif yang sungguh
luar biasa. Sebuah fakta kehidupan bagai lakon theater yang telah terbingkai
dalam catatan skenario. Tentu saja, bahwa Tuhan yang Maha pengasih dan
penyayang, tidaklah memberi hidayah pada banyak orang, selain pada hamba-Nya
yang Ia kasihi dan sayangi, seperti diberikan pada Asdar. Sungguh sangat langka
manusia diberi anugerah kehidupan seperti itu. Terlebih lagi karena juga
dianugerahi kemampuan menangkap rahasia Tuhan akan datangnya ajal. Lebih luar
biasanya lagi karena persentuhan spiritual itu dituliskan dalam bentuk sajak.
Latar
proses kreatif seperti itulah yang menjadi keunggulan dan kekuatan 105 sajak
yang ditulis Asdar ini. Ditulis menjelang ajal. Memiliki kekuatan magic
transendental yang sangat kuat untuk mengikat setiap bait-bait syairnya. Siapa
pun membaca dan mengamalkannya, kelak menjadi amalan jariyah yang terus
mengalir baginya di alam sana. Menjadi bantalan emas lelap tidurnya di syurga.
Memiliki nilai keabadian, meskipun jasadnya telah lekang berkalang tanah.
Alasan
seperti itulah yang menjadi pertimbangan utama kumpulan sajak Asdar Muis RMS
ini diterbitkan. Sama seperti yang ia harap dalam sajak 101:
… Pada buku-buku lama lembaran tua/ Kuberharap:
aku bukan lembaran kertas hancur/ Kuberharap: masih ada catatan tentang aku/
Kuberharap: aku masih terbaca/ Walau hanya debu berakhir tak napas/ Karena, di
lembaran kusam pun/ Kuingin aku dikenang/ Bila esok aku pulang ke rumah-Mu.
Salam
hormat disampaikan pada siapa saja yang telah ikut serta mendukung penerbitan
buku ini. Terima kasih kepada keluarga besar Asdar Muis RMS, terutama pada Hj.
Herlina --- isteri yang sangat dikasihi Asdar sekaligus penerima waris hak
cipta karya-karya Asdar --- yang telah memberi izin untuk menerbitkan kumpulan sajak
“menjelang ajal” ini. Penghargaan disampaikan pada Bapak Ishak Ngeljaratan yang
berkenan memberi Kata Pengantar. Semoga semua niat baik dan kebajikan ini
bernilai ibadah, kita serahkan seluruhnya pada Allah SWT, Amiin.
Makassar,
Januari 2015
Nur Alim Djalil & Armin Mustamin Toputiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar