Jumat, 20 Februari 2015

Kumpulan Sajak Asdar Muis RMS





Judul Buku: MENUJU TEPI TAK BERUJUNG (105 sajak Menjelang Ajal)
Penulis: Asdar Muis RMS

Kata Pengantar: Ishak Ngeljaratan

Penyunting: Nur Alim Djalil dan Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe INSTITUTE
Terbit: Januari 2015


Pengantar:

Asdar Muis RMS, seniman multitalenta, pendiri “Komunitas Sapi Berbunyi”, lahir di Pangkep, 13 Agustus 1963, lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Pelamonia, 27 Oktober 2014, sesaat setelah berpentas theater di Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Ketika detik-detik ajal menjemputnya, sejak 3 Juli 2014, setiap hari ia menuliskan sajak tentang identitas kemanusiaan dirinya di muka Tuhan. Lalu bagaimanakah ia menyiapkan diri menghadapi ajal --- yang ia katakan rahasia Tuhan yang bukan ramalan --- yang memang ia “rasakan” kian mendekat untuk datang menjemputnya, kembali menemui Sang Maha Pencipta.

105 sajak yang seluruhnya diberi judul “Menuju Tepi Tak Berujung” (masing-masing judul dibedakan hanya berdasar deret angka) itu, rutin setiap hari ia tulis dan tampilkan di media jejaring sosial, halaman facebook miliknya, berdasar tanggal penulisan dan tempat dimana sajak itu lahir. Sajak-sajak itu terus mengalir deras, hingga waktunya 15 Oktober 2014, Asdar menampilkan sajak e-105 yang ia tulis di Tamalanrea-Makassar, sekaligus sajak terakhir, tepat 13 hari sesudahnya --- ajal yang sudah mendekat dan sepertinya memang sedang ia tunggu-tunggu --- benar-benar datang menjemputnya.

 “Saya akan terus menulis sajak-sajak ini hingga saya tak lagi sanggup menuliskannya”, jawabnya enteng ketika suatu waktu ditanyakan sampai kapan ia akan mengakhiri penulisan sajak yang bergerak berdasar deret angka-angka dan hari-hari itu. Pertanyaan disampaikan sekian orang-orang terdekatnya, sesungguhnya mengandung makna lain, karena mereka menyayangi seorang Asdar, sebab semakin menghayati sajak-sajak ditulisnya, semakin mencipta kerisauan, menggetarkan batin dan dinding nurani yang terdalam.

Asdar tidak berarti tak menangkap makna di balik pertanyaan orang-orang terdekatnya itu, bahkan sebaliknya ia sangat paham. Dan Asdar tidak berhenti, tetap saja menulis sajak-sajaknya sesuai deret-deret angka berikutnya, hingga saatnya sang isteri yang ia cintai, ikut pula meluapkan kerisauan yang telah memuncak. Tapi juga ditepisnya dengan enteng, “Mama, tak perlu kau risau, syair-syair yang kutulis itu, sebatas hanya bait-bait imajinasiku saja, murni karya sastra”.

Memang semua ditepisnya dengan enteng, karena baginya siapa pun yang hidup di bumi ini, tak akan bisa lari ke manapun. Ajal pasti datang. Siapa pun pasti bertemu ajal. Lalu siapakah manusia yang tahu rahasia Tuhan, kapankah waktunya ajal datang. Tapi itulah Asdar, bahkan kerapkali ia menyampaikan --- secara serius juga kadang dengan nada kelakar --- kepada sekian orang dekatnya, jika dirinya sudah tak lagi memiliki cukup waktu untuk berlama-lama berada di muka bumi ini. Ajalnya sudah mendekat.

Lima hari menjelang ajalnya tiba, Asdar berbincang melalui massenger Facebook dengan Fadli Sihasaleh, seorang kerabatnya: …”Gimana kabar kak?”… “Doakan, ajalku sudah mendekat”… “Kakak bukan Tuhan”… “Kok!”… “Maksudku, kakak ingin cepat mati?”… “loh, apa enak jika ajal tak datang, mau hidup sampai kapan?”… “Kematian kan datang sendiri”…“mau-maumu” (rekaman dialog massenger fb, 23 Oktober 2014).

Sungguh sebuah peristiwa kesadaran transendental yang nyata. Dan fenomena itulah yang terungkap ketika membaca sajak-sajak “Menuju Tepi tak Berujung”, 105 Sajak Menjelang Ajal ini. Sepertinya Asdar telah mendengar lonceng kematian sebelum ajalnya tiba. Ketika ajal mendekat, Asdar seolah sudah merasakan getarannya. Sebuah getaran yang datang kurang lebih 118 hari, atau kurang lebih empat bulan menjelang ajalnya tiba, dihitung sejak awal mula sajak-sajak ini ia tulis hingga ajal benar-benar menjemputnya.

Asdar kadang sangsi, betapa banyak limpahan kasih sayang Tuhan yang telah ia abaikan. Jika saatnya ajal datang, akankah Tuhan memaafkan sikap abainya itu. Tetapi Asdar mencoba berdamai dengan kepasrahan, menerima ajal dengan lapang. Ia menyadari, perjalanan hidup di alam raya ini, seluruhnya adalah isyarat-isyarat tentang kematian. Perwujudan dari sang maut. Maka menyambut ajal, mestilah diakrabi, bahkan diajak berdialog, sebab bukankah Tuhan maha pengampun, maha pengasih dan penyayang.

Perjalanan hidup dan proses kreatif  yang sungguh luar biasa. Sebuah fakta kehidupan bagai lakon theater yang telah terbingkai dalam catatan skenario. Tentu saja, bahwa Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang, tidaklah memberi hidayah pada banyak orang, selain pada hamba-Nya yang Ia kasihi dan sayangi, seperti diberikan pada Asdar. Sungguh sangat langka manusia diberi anugerah kehidupan seperti itu. Terlebih lagi karena juga dianugerahi kemampuan menangkap rahasia Tuhan akan datangnya ajal. Lebih luar biasanya lagi karena persentuhan spiritual itu dituliskan dalam bentuk sajak.

Latar proses kreatif seperti itulah yang menjadi keunggulan dan kekuatan 105 sajak yang ditulis Asdar ini. Ditulis menjelang ajal. Memiliki kekuatan magic transendental yang sangat kuat untuk mengikat setiap bait-bait syairnya. Siapa pun membaca dan mengamalkannya, kelak menjadi amalan jariyah yang terus mengalir baginya di alam sana. Menjadi bantalan emas lelap tidurnya di syurga. Memiliki nilai keabadian, meskipun jasadnya telah lekang berkalang tanah.

Alasan seperti itulah yang menjadi pertimbangan utama kumpulan sajak Asdar Muis RMS ini diterbitkan. Sama seperti yang ia harap dalam sajak 101:

… Pada buku-buku lama lembaran tua/ Kuberharap: aku bukan lembaran kertas hancur/ Kuberharap: masih ada catatan tentang aku/ Kuberharap: aku masih terbaca/ Walau hanya debu berakhir tak napas/ Karena, di lembaran kusam pun/ Kuingin aku dikenang/ Bila esok aku pulang ke rumah-Mu.  

Salam hormat disampaikan pada siapa saja yang telah ikut serta mendukung penerbitan buku ini. Terima kasih kepada keluarga besar Asdar Muis RMS, terutama pada Hj. Herlina --- isteri yang sangat dikasihi Asdar sekaligus penerima waris hak cipta karya-karya Asdar --- yang telah memberi izin untuk menerbitkan kumpulan sajak “menjelang ajal” ini. Penghargaan disampaikan pada Bapak Ishak Ngeljaratan yang berkenan memberi Kata Pengantar. Semoga semua niat baik dan kebajikan ini bernilai ibadah, kita serahkan seluruhnya pada Allah SWT, Amiin.

Makassar, Januari 2015
    
Nur Alim Djalil & Armin Mustamin Toputiri

Tidak ada komentar: