Cinta dan Kehormatan
Oleh Eko Rusdianto
Musytari Yusuf menulis tentang laku kehidupan dan adat yang
dipegang teguh masyarakat Bugis dan Makassar pada umumnya, siri’. Menggambarkannya dengan baik dan penuh kehangatan, setting
ceritanya mengambil masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) di Palopo, Sulawesi Selatan.
Pasca pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kahar Muzakkar
pria militer setelah melanglang buana di Jawa kembali ke Sulawesi Selatan.
Kekecewaannya untuk mendapatkan pengakuan negara agar para pasukannya
dimasukkan dalam angkatan militer tak dipenuhi Presiden Soekarno.
Dia sakit hati. Pada 1950-an akhir, Kahar melakukan perlawanan,
menggunakan taktik gerilya, dan mengatur strateginya di hutan-hutan Sulawesi
Selatan. Kemudian arah perjuangan mulai berubah ketika pada 1953
memproklamirkan keikutsertaannya bergabung dengan TII dalam kesatuan Negara
Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewiryo di Jawa Tengah. Kahar menjabat
sebagai menteri pertahanan NII.
Dan karena ideologi perjuangan yang berubah itu, keadaan menjadi
lebih keras. Di Palopo bahkan terjadi garis pemisah antara TNI dan TII.
Kampung-kampung yang menganut kepercayaan selain muslim diserang dan diduduki.
Semenatara masyarakat yang terperangkap pada garis pemisah itu tak dapat
kembali lagi. Keluarga-keluarga terpisah, antara orang tua dan anak, pasangan
kekasih, dan kawan-kawan.
Pada 1955, seorang pemuda bernama Patiwiri kembali ke Palopo dari
pelariannya. Kota yang seharusnya tak dijejak lagi, setelah kekalahannya
bersama Datu Luwu, Andi Djemma, pada 1946, dan Palopo terbakar oleh api
revolusi tentara NICA.
Tapi kepulangannya kali ini bukan untuk berjuang lagi, melainkan
menuntut balas atas kematian isterinya yang tidak wajar, bunuh diri. Dia
mengalami perkosaan oleh seorang bernama Andi Rajab.
Andi Rajab adalah komandan pasukan Momok Hitam bentukan Kahar
Muzakkar, yang sepak terjangnya begitu ditakuti. Sering mengadakan penghadangan
dan menembaki pasukan TNI. Momok Hitam adalah pasukan khusus.
***
SEBELUMNYA saya tak pernah mengenal nama Musytari Yusuf. Saya
bahkan baru mengetahuinya awal tahun 2012 ketika ada diskusi peringatan hari
jadi Luwu di Malili.
Musytari Yusuf adalah seorang pengarang buku roman sejarah Kota
Palopo yang Terbakar. Sebuah cerita yang memenangkan sayembara mengarang
UNESCO-IKAPI dan diterbitkan pertama kali tahun 1969 di Bandung.
Buku cetakan pertama dan kedua dengan judul yang memakai nama
pena pengarang, Mohayus Abukomar. Tapi pada cetakan ketiga yang diterbitkan
oleh toACCAe PUBLISHING tahun 2006, nama Musytari Yusuf digunakan. Alasan
toACCAe menggunakan nama aslinya karena pertimbangan buku lainnya yang
menggunakan nama Musytari.
Buku itu setebal 260 halaman, tidak termasuk kata pengantar.
Sementara kata pengantarnya, ditulis oleh Buya Hamka. Menurut Hamka, jalan
cerita buku ini cukup baik, dan begitu penting untuk kembali mengenangkan
suasana, kondisi, dan situasi tanah air pada masa itu.
Hamka juga menyanjung, gaya bahasa yang digunakan Mohayus
Abukomar. Menuliskan sebagai lemah lembut, seperti budi bahasa orang Bugis dan
Makassar setiap hari, asal saja kehormatan dirinya tak disunggung dan dicemari.
Musytari Yusuf lahir di Palopo pada 15 Juni 1938. Jadi ketika
buku pertama itu terbit usia Musytari sudah 31 tahun. Usia yang menurut saya
memiliki pengalaman dan keadaan hidup yang baik.
Di Palopo, mendapati seorang penulis merupakan kesenangan yang
tiada tara bagi saya, meskipun sudah meninggal. Saya akan membaca setiap
kalimat dalam buku itu dengan teliti, lalu mencermatinya. Kegirangan saya akan
semakin menjadi ketika mendapati nama daerah yang ditulis dan saya ketahui,
apalagi pernah mengunjunginya.
Ketika saya ke Makassar pada 2002 untuk melanjutkan kuliah. Saya
juga merasa kecolongan karena mendapat kabar dan cerita tentang seorang penulis
yang cukup baik dan tinggal di Palopo. Namanya Sanusi Daeng Mattata, judul
bukunya Luwu dalam Revolusi.
Waktu itu, Sanusi Daeng Mattata adalah nama asing bagi saya,
sama dengan Musytari. Tapi beberapa lama kemudian saya tahu siapa Mattata
sesungguhnya. Dia adalah orangtua tetangga saya di kampung, desa Suli. Kami
memanggilnya dengan nama Pettaji. Dia meninggal ketika saya masih di sekolah
dasar.
***
SAAT kapal Intata merapat ke pelabuhan Palopo, hati Patiwiri
bergetar kuat. Ketika bertemu adiknya, dia merangkulnya cukup lama. Sementara
orang tuanya berada di hutan, karena terjebak garis pemisah itu. Meski sebenarnya
orang tua Patiwiri tak menginginkan bergabung dengan DI/TII.
Andi Rajab juga bermarkas di hutan. Patiwiri mencari jalan untuk
menemuinya. Melewati hutan belantara, dari wilayah Latuppa – sekarang menjadi
objek wisata permandian --- hingga menuju daerah pegunungan Enrekang.
Di hutan itu, dia menemukan kedua orang tuanya. Ayahnya memberi
sebuah badik. Saya kutipkan dialognya:
“Ini keris bertuah nak. Besi Luwu tempahan Ussu’. Ia
masih dipakai oleh nenekmu, ayah saya dalam perang Bone pada tahun 1905. Anyir
baunya nak, karena darah manusia. Jeruk nipis sekalipun tak sanggup
menghilangkan keanyirannya,”
“Selama menyimpan keris itu nak, aku merasa jiwaku
terpelihara,” sambung ayahnya lagi.
“Sekarang saya beritahukan nak, bahwa orang yang
harus kau cari itu, sudah mempunyai kedudukan. Apa kau gentar nak?”
“Sekali-kali tidak. Apa kedudukannya pak?”
“Laki-laki itu sama saja nak,” kata ayahya.
“Sekalipun beralinan-lainan kedudukannya. Kalau ada yang membedakan hanyalah
kekerasan hati dan ketiadaan gentar belaka. Tetapi laki-laki yang berdiri
dipihak yang benar, lebih kuat dari pada yang berdiri dipihak yang salah,”
“Saya merasa dipihak yang benar pak,”
“Kata orang dia kebal nak, kau takut.” Patiwiri tak
menjawab. Awan hitam berarak di wajahnya, ada nada tanda-tanda putus asa
terguras pada air mukanya. “Jangan kuatir nak,” kata ayahya menyambung. “Keris
itu, yang ada digenggamanmu sekarang hanya menikam sekali dan tak ada kulit
yang kebal baginya. Hanya nak, dia itu seorang komandan yang mempunyai pasukan
yang disegani.”
Beberapa hari kemudian pada sebuah pagi, Patiwiri menyelipkan
badiknya di pinggang menuju sebuah sungai. Dia mengikuti Andi Rajab dari jarak
yang bisa dijangkau. Andi Rajab alias Guntur selesai mandi, mengambil wudhu dan
menunaikan salat. “Sembahyanglah yang baik karena ini akhir sembahyangmu,” kata
Patiwiri berbisik pada dirinya dari jarak tertentu.
Lalu tiba-tiba, badik itu menikam perut Andi Rajab. Badannya
jatuh bersandar pada sebuah batu. “Beri sekali lagi,” kata Andi Rajab. Patiwiri
tak memenuhinya. Badiknya hanya menikam sekali saja.
Kini Patiwiri merasa puas. Selama berhari-hari, dia merencakan
niatnya dan mematuhi janjinya untuk tak makan nasi sebelum pemerkosa istrinya itu
mati. “Alangkah enak nasi setelah berminggu-minggu tidak merasainya,” kata
Patiwiri..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar