Judul: Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menuju Persaudaraan ManusiaPenulis: Abdul Qahhar Mudzakkar
Editor: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Halaman:
Terbit:
Editor: Armin Mustamin Toputiri
Penerbit: toACCAe Publishing
Halaman:
Terbit:
ISBN:
Sinopsis:
“Entah Sukarno masih ingat atau sudah lupa bahwa dilapangan Ikada Djakarta, pada tgl. 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakjat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakjat penduduk Djakarta dan Barisan Pemuda jang ada di Lapangan Ikada pada waktu itu, tidak ada seorang pun jang sanggup berdiri dimuka auto Bung Karno untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bajonet tentara Djepang, ketjuali saja seorang diri dengan sebilah golok ditangan dengan nekad dan nekad mengundurkan tentara Djepang jang sudah penuh membandjir mengelilingi auto Bung Karno dan Bung hatta dengan bajonet terhunus”
(Abdul Qahhar Mudzakkar, Muharram 1380 H/Djuli 1960 M)
Demikian diungkapkan Qahhar Mudzakkar dalam buku yang ditulisnya “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” (diterbitkan ulang Madinah Press, Jakarta: 1999), disaat mempertegas bahwa dirinya bukan membenci Sukarno atau membenci suku Jawa, tetapi dia tegas mengakui membenci prilaku dan kebijakan Sukarno yang memberi ruang gerak kepada paham komunis dengan memperalat suku bangsa Jawa --- yang selalu diagung-agungkan Sukarno --- untuk memasuki jantung sendi-sendi kehidupan bernegara, dengan cara menyebarnya ke seluruh pelosok nusantara, untuk dengan alasan mengembalikan kesatuan bangsa kepada “kepribadian Indonesia” sebagaimana dilakukan Majapahit dalam penyatuan nusantara.
Padahal dengan cara seperti itu, dipahami oleh Qahhar Mudzakkar sebagai siasat Sukarno untuk menjadikan simbol perjuangan Majapahit bagi suku bangsa Djawa untuk melancarkan ambisi kekuasaannya dalam penguasaan seluruh wilayah Indonesia. Dengan doktrin Majapahit itulah, sehingga suku bangsa Jawa diperalat untuk menegakkan kesatuan nusantara, dengan doktrin bahwa barang siapa tidak memberi dukungan terhadap konsepsi itu, maka dialah penantang yang harus dibumi hanguskan.
Paham yang ditanamkan Sukarno seperti itu, dipahami Qahhar Mudzakkar sebagai politik adu domba untuk saling mempertentangkan dan saling membunuh antar warga bangsa sendiri, --- chususnya terhadap golongan kami DI/TII di Sulawesi, katanya --- dan cara-cara Sukarno seperti itu kata Qahhar, sebagai bagian dari bentuk penanaman paham komunis kepada rakyat, yang harus juga dilawan karena sangat bertentangan dengan firman Tuhan dalam al-Qur’an 8 : 55; “Inna sjarraddawabbi ‘indallahi lladzina kafaruu fahum laa ju’minun” (Sesungguhnya binatang (mahluk) yang paling buruk disi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman).
Atas dasar firman itu, Qahhar Mudzakkar kemudian menyatakan sikapnya bahwa: “Tegasnya pada setiap saat golongan Komunis Indonesia mengadjak kami berperang, ‘Insya Allah setapak pun kami tidak akan menarik langkah surut membelakanginja”
Bentuk-bentuk dan cara seperti itulah, dikatakan Qahhar bahwa Sukarno bersama golongan pengiktnya yang fanatik telah menjalankan bentuk penjajahan baru di Indonesia dengan memaksakan “Kebangsaan-Kesatuan” versi Majapahit dengan asas Pancasila-nya untuk segenap seluruh golongan bangsa Indonesia, yang belum tentu dipahami dan diterima oleh suku bangsa lainnya di Indonesia, kecuali suku bangsa Jawa. Itu berarti bahwa Pancasila memang tidak menganut paham yang universal. Pancasila tidak memiliki nilai-nilai kemanusian dan persaudaraan, yang dibuktikan misalnya dengan pemberlakuan praktek politik adu domba dan pertentangan antar warga bangsa sendiri.
Maka dari itulah, dalam uraian buku ini, Qahhar Mudzakkar secara terbuka mengungkapkan bagaimana ia berusaha mengajak Sukarno sebagai sesamanya manusia untuk kembali ruju’ ke jalan yang benar, ajaran agama, yakni Islam yang memiliki ajaran yang bernilai universal, yang dikatakannya dalam buku ini: “Saja berkejaqinan teguh bahwa bahwa perdamaian dan persaudaraan jang dirindukan oleh manusia itu sepandjang masa tidak akan didjumpai djika manusia tidak suka bersungguh-sungguh mempeladjari Adjaran-Islam, dimana semangat perdamaian dan persaudaraan itu telah diutamakan Tuhan didalamnja”
Ruju’ kepada ajaran Islam, ajaran kebanaran yang dapat diterima oleh seluruh suku bangsa di dunia, termasuk suku bangsa di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga dengan sendirinya hanya ajaran Islam-lah yang menurut tujuan perjuangan DI/TII yang harusnya menjadi landasan ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat menciptakan persaudaraan sesama manusia.
Ajakan seperti itulah yang disampaikan oleh Qahhar Mudzakkar kepada Sukarno --- sekaligus menjadi judul buku ini --- lewat suratnya yang diantar langsung oleh salah seorang isterinya Corrie V. Stenus lewat perantaraan dan pertolongan St. Fatmawati --- isteri kesayangan Sukarno --- yang kemudian diketahui oleh Qahhar bahwa suratnya kemudian disia-siakan oleh Sukarno. Padahal dalam isi surat politik yang cukup panjang lebar itu, terkandung keinginan Qahhar untuk berdamai, dan berjanji akan segera memberhentikan pemberontakannya dan kembali kepangkuan ibu pertiwi, sepanjang Sukarno juga mau menerima ajakannya.
Betapa menariknya mencermati isi surat pribadi Abdul Qahhar Mudzakkar kepada Sukarno, pada bagian awal pembuka surat itu, Qahhar secara terbuka menyatakan kebimbangan dan keraguannya, karena dirinya menyadari bahwa sudah semestinya Bung Karno pasti kecewa pada dirinya karena telah mempelopori pemberontakan terhadap Pemerinntahan Negara yang sudah semestinya dia taati. Qahhar juga mengakui telah berbuat jauh menanam fitnah-kebencian terhadap diri pribadi Bung Karno dan terhadap pemerintah R.I. yang dicapnya telah berbuat sewenang-wenang di luar ajaran Islam dan dilur ajaran agama lainnya.
Surat politik yang sangat berarti atas berlanjut tidaknya pemberontakan Qahhar bersama pasukannya itu, ternyata tidak mendapatkan tanggapan positif dari Sukarno. Barangkali, atas dasar kejadian itulah yang kemudian memberi inspirasi Qahhar Mudzakkar sehingga dirinya menulis buku ini sebagai ungkapan penyesalannya, agar katanya --- sebagaimana diungkapkan dalam pengantar buku ini --- kelak diketahui oleh segenap golongan bangsa indonesia, anak turunan para syuhada, dan menjadi saksi sejarah bagi generasi selanjutnya.
Untuk itulah sehingga, selaku penyunting buku ini berupaya untuk tetap konsisten pada orisinalitas buku ini dalam penerbitannya ini. Tidak saja mempertahankan bentuk penulisannya yang pada ejaan lama, tetapi juga pada gaya ungkap, penuturan, sistemati dan model penulisan yang apa adanya. Terkecuali dilakukan pemberian cetak miring pada kata atau kalimat yang diberi tanda petik oleh penulisnya, atau cetak miring pada setiap penyebutan nama orang untuk mendekatkannya pada indeks (terlampir), serta cetak miring dilakukan pada naskah surat-surat yang dikutip ulang secara lengkap oleh penulisnya, untuk membedakan dengan naskah penguraian lainnya dari bab demi bab.
Buku yang aslinya diketik dengan mesin ketik manual ini, juga lakukan penyempurnaan pada bagian bab. Pada naskah aslinya, “Kata Pengantar Penulis” mulanya dimasukkan penulisnya dalam Bab I, mengukuti secara berurut sampai pada bab IX bagian Penutup. Tetapi untuk edisi penerbitan ini, Kata Pengantar Penulis sengaja dipisahkan secara tersendiri, sehingga Bab II dari aslinya dijadikan Bab I untuk mengikuti bab-bab selanjutnya, sehingga hanya menjadi VIII bab saja.
Sejumlah penyempurnaan itu diharapkan tidak mengaganggu orisinalitas buku yang memiliki nilai sejarah tinggi ini, justru diharapkan untuk memberi penekanan-penekanan yang lebih berarti terhadap sistematika penguraiannya, karena inilah untuk pertama kalinya buku ini diterbitkan untuk publik secara terbuka, dimana sebelumnya kami ketahui pernah diterbitkan hanya dalam lingkungan terbatas, itupun secara “sembunyi-sembunyi”, baik di masa saat masih berlangsungnya pemberontakan, maupun di masa kekuasaan orde baru, dimana buku semacam ini dilarang diterbitkan dan diedarkan.
Maka di era reformasi saat ini, adalah menjadi kesempatan terbaik untuk menghadirkan buku ini kepada publik umum sebagaimana “wasiat penulisnya”, selain menjadi informasi terbuka bagi publik yang belum memahami hakekat perjuangan dan pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar, buku ini sekaligus sebagai bahan pembanding bagi publik yang hanya memahami sejarah perjuangan dan pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar secara sepihak, karena inilah salah satu buku yang menjadi penjelasan langsung dari pelakunya.
Publik harus paham secara berimbang, bahwa Abdul Qahhar Mudzakkar tidak hanya tercatat dalam sejarah sebagai sang legendaris “pemberontak”, tetapi juga semestinya publik juga harus tahu bahwa dia juga sang “patriot”legendaris pemberani yang pantang menyerah, berani menerobos seorang diri untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bayonet tentara Jepang di Lapangan Ikada. Kisah sekeping kenyataan itulah yang diungkapkannya, yang sengaja dikutip di awal pengantar ini. Tetapi pengungkapan seperti itu baginya tidak ada maksud untuk melunturkan integritasnya dan merubah sikapnya, tetapi semata untuk mengingatkan Sukarno. Kata Qahhar; “Saja kenangkan ulang kedjadian itu, bukan untuk meminta balasan djasa dari Sukarno, dan bukan meminta pudjian Sukarno”.
Sinopsis:
“Entah Sukarno masih ingat atau sudah lupa bahwa dilapangan Ikada Djakarta, pada tgl. 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakjat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakjat penduduk Djakarta dan Barisan Pemuda jang ada di Lapangan Ikada pada waktu itu, tidak ada seorang pun jang sanggup berdiri dimuka auto Bung Karno untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bajonet tentara Djepang, ketjuali saja seorang diri dengan sebilah golok ditangan dengan nekad dan nekad mengundurkan tentara Djepang jang sudah penuh membandjir mengelilingi auto Bung Karno dan Bung hatta dengan bajonet terhunus”
(Abdul Qahhar Mudzakkar, Muharram 1380 H/Djuli 1960 M)
Demikian diungkapkan Qahhar Mudzakkar dalam buku yang ditulisnya “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” (diterbitkan ulang Madinah Press, Jakarta: 1999), disaat mempertegas bahwa dirinya bukan membenci Sukarno atau membenci suku Jawa, tetapi dia tegas mengakui membenci prilaku dan kebijakan Sukarno yang memberi ruang gerak kepada paham komunis dengan memperalat suku bangsa Jawa --- yang selalu diagung-agungkan Sukarno --- untuk memasuki jantung sendi-sendi kehidupan bernegara, dengan cara menyebarnya ke seluruh pelosok nusantara, untuk dengan alasan mengembalikan kesatuan bangsa kepada “kepribadian Indonesia” sebagaimana dilakukan Majapahit dalam penyatuan nusantara.
Padahal dengan cara seperti itu, dipahami oleh Qahhar Mudzakkar sebagai siasat Sukarno untuk menjadikan simbol perjuangan Majapahit bagi suku bangsa Djawa untuk melancarkan ambisi kekuasaannya dalam penguasaan seluruh wilayah Indonesia. Dengan doktrin Majapahit itulah, sehingga suku bangsa Jawa diperalat untuk menegakkan kesatuan nusantara, dengan doktrin bahwa barang siapa tidak memberi dukungan terhadap konsepsi itu, maka dialah penantang yang harus dibumi hanguskan.
Paham yang ditanamkan Sukarno seperti itu, dipahami Qahhar Mudzakkar sebagai politik adu domba untuk saling mempertentangkan dan saling membunuh antar warga bangsa sendiri, --- chususnya terhadap golongan kami DI/TII di Sulawesi, katanya --- dan cara-cara Sukarno seperti itu kata Qahhar, sebagai bagian dari bentuk penanaman paham komunis kepada rakyat, yang harus juga dilawan karena sangat bertentangan dengan firman Tuhan dalam al-Qur’an 8 : 55; “Inna sjarraddawabbi ‘indallahi lladzina kafaruu fahum laa ju’minun” (Sesungguhnya binatang (mahluk) yang paling buruk disi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman).
Atas dasar firman itu, Qahhar Mudzakkar kemudian menyatakan sikapnya bahwa: “Tegasnya pada setiap saat golongan Komunis Indonesia mengadjak kami berperang, ‘Insya Allah setapak pun kami tidak akan menarik langkah surut membelakanginja”
Bentuk-bentuk dan cara seperti itulah, dikatakan Qahhar bahwa Sukarno bersama golongan pengiktnya yang fanatik telah menjalankan bentuk penjajahan baru di Indonesia dengan memaksakan “Kebangsaan-Kesatuan” versi Majapahit dengan asas Pancasila-nya untuk segenap seluruh golongan bangsa Indonesia, yang belum tentu dipahami dan diterima oleh suku bangsa lainnya di Indonesia, kecuali suku bangsa Jawa. Itu berarti bahwa Pancasila memang tidak menganut paham yang universal. Pancasila tidak memiliki nilai-nilai kemanusian dan persaudaraan, yang dibuktikan misalnya dengan pemberlakuan praktek politik adu domba dan pertentangan antar warga bangsa sendiri.
Maka dari itulah, dalam uraian buku ini, Qahhar Mudzakkar secara terbuka mengungkapkan bagaimana ia berusaha mengajak Sukarno sebagai sesamanya manusia untuk kembali ruju’ ke jalan yang benar, ajaran agama, yakni Islam yang memiliki ajaran yang bernilai universal, yang dikatakannya dalam buku ini: “Saja berkejaqinan teguh bahwa bahwa perdamaian dan persaudaraan jang dirindukan oleh manusia itu sepandjang masa tidak akan didjumpai djika manusia tidak suka bersungguh-sungguh mempeladjari Adjaran-Islam, dimana semangat perdamaian dan persaudaraan itu telah diutamakan Tuhan didalamnja”
Ruju’ kepada ajaran Islam, ajaran kebanaran yang dapat diterima oleh seluruh suku bangsa di dunia, termasuk suku bangsa di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga dengan sendirinya hanya ajaran Islam-lah yang menurut tujuan perjuangan DI/TII yang harusnya menjadi landasan ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat menciptakan persaudaraan sesama manusia.
Ajakan seperti itulah yang disampaikan oleh Qahhar Mudzakkar kepada Sukarno --- sekaligus menjadi judul buku ini --- lewat suratnya yang diantar langsung oleh salah seorang isterinya Corrie V. Stenus lewat perantaraan dan pertolongan St. Fatmawati --- isteri kesayangan Sukarno --- yang kemudian diketahui oleh Qahhar bahwa suratnya kemudian disia-siakan oleh Sukarno. Padahal dalam isi surat politik yang cukup panjang lebar itu, terkandung keinginan Qahhar untuk berdamai, dan berjanji akan segera memberhentikan pemberontakannya dan kembali kepangkuan ibu pertiwi, sepanjang Sukarno juga mau menerima ajakannya.
Betapa menariknya mencermati isi surat pribadi Abdul Qahhar Mudzakkar kepada Sukarno, pada bagian awal pembuka surat itu, Qahhar secara terbuka menyatakan kebimbangan dan keraguannya, karena dirinya menyadari bahwa sudah semestinya Bung Karno pasti kecewa pada dirinya karena telah mempelopori pemberontakan terhadap Pemerinntahan Negara yang sudah semestinya dia taati. Qahhar juga mengakui telah berbuat jauh menanam fitnah-kebencian terhadap diri pribadi Bung Karno dan terhadap pemerintah R.I. yang dicapnya telah berbuat sewenang-wenang di luar ajaran Islam dan dilur ajaran agama lainnya.
Surat politik yang sangat berarti atas berlanjut tidaknya pemberontakan Qahhar bersama pasukannya itu, ternyata tidak mendapatkan tanggapan positif dari Sukarno. Barangkali, atas dasar kejadian itulah yang kemudian memberi inspirasi Qahhar Mudzakkar sehingga dirinya menulis buku ini sebagai ungkapan penyesalannya, agar katanya --- sebagaimana diungkapkan dalam pengantar buku ini --- kelak diketahui oleh segenap golongan bangsa indonesia, anak turunan para syuhada, dan menjadi saksi sejarah bagi generasi selanjutnya.
Untuk itulah sehingga, selaku penyunting buku ini berupaya untuk tetap konsisten pada orisinalitas buku ini dalam penerbitannya ini. Tidak saja mempertahankan bentuk penulisannya yang pada ejaan lama, tetapi juga pada gaya ungkap, penuturan, sistemati dan model penulisan yang apa adanya. Terkecuali dilakukan pemberian cetak miring pada kata atau kalimat yang diberi tanda petik oleh penulisnya, atau cetak miring pada setiap penyebutan nama orang untuk mendekatkannya pada indeks (terlampir), serta cetak miring dilakukan pada naskah surat-surat yang dikutip ulang secara lengkap oleh penulisnya, untuk membedakan dengan naskah penguraian lainnya dari bab demi bab.
Buku yang aslinya diketik dengan mesin ketik manual ini, juga lakukan penyempurnaan pada bagian bab. Pada naskah aslinya, “Kata Pengantar Penulis” mulanya dimasukkan penulisnya dalam Bab I, mengukuti secara berurut sampai pada bab IX bagian Penutup. Tetapi untuk edisi penerbitan ini, Kata Pengantar Penulis sengaja dipisahkan secara tersendiri, sehingga Bab II dari aslinya dijadikan Bab I untuk mengikuti bab-bab selanjutnya, sehingga hanya menjadi VIII bab saja.
Sejumlah penyempurnaan itu diharapkan tidak mengaganggu orisinalitas buku yang memiliki nilai sejarah tinggi ini, justru diharapkan untuk memberi penekanan-penekanan yang lebih berarti terhadap sistematika penguraiannya, karena inilah untuk pertama kalinya buku ini diterbitkan untuk publik secara terbuka, dimana sebelumnya kami ketahui pernah diterbitkan hanya dalam lingkungan terbatas, itupun secara “sembunyi-sembunyi”, baik di masa saat masih berlangsungnya pemberontakan, maupun di masa kekuasaan orde baru, dimana buku semacam ini dilarang diterbitkan dan diedarkan.
Maka di era reformasi saat ini, adalah menjadi kesempatan terbaik untuk menghadirkan buku ini kepada publik umum sebagaimana “wasiat penulisnya”, selain menjadi informasi terbuka bagi publik yang belum memahami hakekat perjuangan dan pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar, buku ini sekaligus sebagai bahan pembanding bagi publik yang hanya memahami sejarah perjuangan dan pemberontakan Abdul Qahhar Mudzakkar secara sepihak, karena inilah salah satu buku yang menjadi penjelasan langsung dari pelakunya.
Publik harus paham secara berimbang, bahwa Abdul Qahhar Mudzakkar tidak hanya tercatat dalam sejarah sebagai sang legendaris “pemberontak”, tetapi juga semestinya publik juga harus tahu bahwa dia juga sang “patriot”legendaris pemberani yang pantang menyerah, berani menerobos seorang diri untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bayonet tentara Jepang di Lapangan Ikada. Kisah sekeping kenyataan itulah yang diungkapkannya, yang sengaja dikutip di awal pengantar ini. Tetapi pengungkapan seperti itu baginya tidak ada maksud untuk melunturkan integritasnya dan merubah sikapnya, tetapi semata untuk mengingatkan Sukarno. Kata Qahhar; “Saja kenangkan ulang kedjadian itu, bukan untuk meminta balasan djasa dari Sukarno, dan bukan meminta pudjian Sukarno”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar